Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer. Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya.
Kok, bisa pelayaran peti kemas menuai cuan sebesar itu, sementara bisnis yang lain terseok-seok?
Saya sederhanakan saja jawabannya. Mereka menari di atas penderitaan orang/bisnis lain yang menderita dihajar pandemi.
Sektor usaha galangan kapal diramalkan akan tetap seperti kondisi sebelumnya yang “hidup segan, mati tak mau”.
Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kemaritiman, bisnis galangan kapal sudah sakit jauh sebelum virus corona mengharu-biru.
Begitu parahnya keadaan sektor ini sampai-sampai dua raksasa galangan dunia asal Korea Selatan, Hyundai Heavy Industry (HHI) dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DMSE), harus merger agar bertahan hidup.
Tetapi, ada blessing in disguise dari aksi korporasi ini.
Gabungan kedua perusahaan itu kini merupakan galangan terbesar di dunia yang menguasai 20 persen order new building.
Sayang, sepak terjang mereka sepertinya harus terhenti sejenak karena berbagai lembaga antitrust masih belum memberikan lampu hijau untuk merger yang dilakukan.
Ditakutkan aksi korporasi shipyard asal Negeri Ginseng itu memicu praktik monopoli.
Adapun usaha pelabuhan masih akan fluktuatif tahun depan. Ada dua faktor yang mempengaruhi outlook sektor ini: perkembangan Covid-19 dan respons China terhadapnya.
Bila pandemi belum usai, apalagi bila varian Omicron yang terus mengganas, lalu satu-dua pekerja pelabuhan atau yang lainnya terjangkit Omicron di China, dapat dipastikan sektor pelabuhan internasional akan terdampak.
Pasalnya, China dipastikan akan me-lockdown pelabuhan atau wilayah terdampak.
Negeri Tirai Bambu itu memang dikenal keras melawan Covid-19. Mereka menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap wabah tersebut.
Pokoknya tutup pelabuhan atau wilayah bila terjangkit. Sabodo amat soal ekonomi.