Ada pula pemain-pemain lokal independen dengan konsep gerobak yang juga bermain di sektor ini. Meskipun begitu, ada sektor yang belum terjamah ketika d’BestO dimulai, yakni outlet fried chicken yang terjangkau dan bisa dinikmati berbagai kalangan, namun memiliki rasa yang lezat, konsisten, dan bersertifikasi MUI.
“Restoran fried chicken umumnya memiliki harga yang relatif tinggi. Sementara banyak brand dalam skala yang lebih kecil tidak memiliki standarisasi yang kuat sehingga membuat rasa yang berbeda-beda. Kami ada di sana dengan konsep itu," kata Wahyu.
“Intinya, produk yang kita jual pasti ada waktunya akan sama atau mirip dengan kompetitor. Namun, selalu ada jalan untuk menemukan celah yang bisa kita maksimalkan," sambung Wahyu.
"Resep" ketiga adalah inovasi dengan memaksimalkan sumber daya yang ada. Wahyu mengatakan, pengusaha mana pun pasti setuju, jika inovasi merupakan hal yang penting bagi keberlangsungan suatu bisnis.
Baca juga: Anies Revisi UMP, Pengusaha: Pelanggaran Jadi Catatan, Apalagi Kalau Mau Nyapres
Namun, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, fokus pada inovasi juga berpeluang membuat pengeluaran membengkak. Untuk menyiasatinya, d’BestO memilih untuk fokus berinovasi dengan memaksimalkan bahan baku yang telah ada.
“Selain efisiensi, inovasi menggunakan bahan baku yang sudah ada juga memungkinkan kami untuk fokus pada keunggulan kami, yakni aneka produk fried chicken, burger, dan turunannya,” lanjut Wahyu.
Sementara "resep" keempat adalah program marketing berlandaskan data. Sejak pandemi, lanjut Wahyu, semakin banyak brand yang beralih ke layanan digital, baik layanan pembayaran digital seperti ShopeePay maupun layanan pesan antar makanan seperti ShopeeFood.
Bagi d’BestO, ada dua keuntungan yang didapatkan dari adaptasi layanan digital. Pertama, menstimulus konsumen untuk bertransaksi lebih banyak dengan ragam promo yang kerap diberikan dan kedua memberikan keuntungan dari segi data yang lebih komprehensif.
Baca juga: 7 Orang Terkaya di Indonesia Pemilik Bisnis Media