Aditya juga mengatakan, program pupuk bersubsidi sendiri perlu dievaluasi efektivitasnya karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras.
Dengan porsi anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, reformasi kebijakan pupuk nasional cukup mendesak untuk dilakukan, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.
“Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” tambah Aditya.
Dia juga membeberkan, berdasarkan hasil penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019.
Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton.
Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, menunjukkan bahwa target ini tidak tercapai.
Aditya merekomendasikan supaya pemerintah memberikan akses lebih besar kepada pupuk nonsubdisi lewat pembayaran langsung atau direct payment, karena akan langsung masuk ke rekening penerima dan tidak memerlukan waktu distribusi panjang seperti pada bantuan barang.
"Mekanisme ini juga akan meniadakan kesenjangan harga yang timbul dari penerapan subsidi terhadap merek pupuk tertentu saja," ungkap dia.
Dia menambahkan, saldo bantuan juga harus dipastikan tidak dapat ditarik tunai tetapi bisa dibelanjakan untuk berbagai jenis input sesuai dengan kebutuhan dan dibelanjakan di mana saja jika infrastruktur pendukung seperti EDC tersedia.
Baca juga: Kawal Pupuk Subsidi, Kementan Minta Pemda Proaktif Bantu Petani
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.