JAKARTA, KOMPAS.com – Buntut dari deretan sanksi atas invasi Rusia terhadap Ukraina, kapal pesiar mewah atau Superyacht milik para miliarder Rusia beramai-ramai meninggalkan Rusia.
Berdasarkan laporan BBC, kapal pesiar milik lima miliarder Rusia berlayar menuju ke Maladewa Samudera Hindia. Lokasi tersebut dianggap sebagai lokasi yang aman karena tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan AS.
Walau demikian, Prancis bertindak cepat pada hari Rabu waktu setempat, dan beberapa kapal mewah seperti “Amore Vero" setinggi 88 meter milik Sechin, yang tadinya berencana berlayar berhasil disita.
Selain itu, kapal pesiar milik Igor Sechin, bos perusahaan energi negara Rusia, Rosneft, juga berhasil disita oleh petugas bea cukai Prancis di dekat Marseille.
Pihak berwenang Jerman juga menyita kapal senilai 600 juta dollar AS atau Rp 8,6 triliun milik taipan logam Rusia Alisher Usmanov.
Baca juga: Crazy Rich Rusia Kehilangan Ribuan Triliun Rupiah Akibat Perang
Di Hamburg, pihak berwenang juga menyita kapal pesiar 'Dilbar' milik Usmanov sepanjang 156 meter, yang merupakan kapal pesiar terbesar di dunia versi Forbes di dunia berdasarkan tonase kotor.
Usmanov merupakan satu dari dua orang Rusia yang mendapat sanksi dari Inggris. Sanksi yang diberikan kepada oligarki Rusia oleh Uni Eropa juga berupa pembekuan kartu debit.
Langkah yang diambil oleh Prancis dan Jerman dilakukan setelah Inggris dinilai lambat dalam memberlakukan sanksi. Seperti diketahui, beberapa oligarki telah diberi sanksi oleh pemerintah, mencakup pembekuan rekening bank Inggris.
Baca juga: Dijatuhi Berbagai Sanksi, Rusia Terancam Default?
Pengacara Nigel Kushner dari W Legal mengatakan kepada BBC, orang kaya Rusia ingin memindahkan uang mereka dari Inggris sebelum masuk dalam daftar sanksi.
"Pemerintah telah melarang orang kaya Rusia untuk memindahkan uang mereka. Klien bertanya, “Dapatkah saya mengeluarkan uang saya sebelum saya masuk dalam daftar (sanksi)?” dan saya mengatakan ya, itu sangat sah," kata Kushner.
Baca juga: JPMorgan: Ekonomi Rusia Bisa Susut 35 Persen Akibat Deretan Sanksi