JAKARTA, KOMPAS.com - PT SiCepat Ekspres baru-baru ini diterpa isu telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak kepada sekitar 365 kurirnya.
Namun, ternyata hal tersebut tidak hanya dialami oleh kurirnya. Gelombang PHK juga dialami karyawan di kantor pusat SiCepat.
Baca juga: Menaker: Jangan Mentang-mentang Ada Program JKP, Perusahaan Mudah PHK Karyawan...
Hal ini dikonfirmasi oleh salah satu karyawan tetap SiCepat Ekspres yang tidak ingin disebutkan namanya.
Dia bekerja di bagian Operational di kantor pusat SiCepat Ekspres.
Mulanya, pada tahun lalu dia sempat diminta oleh pihak SiCepat untuk menandatangani sebuah perjanjian.
Dalam perjanjian tersebut, karyawan tidak diperbolehkan bekerja di perusahaan sejenis setelah dua tahun keluar dari perusahaan SiCepat.
Baca juga: Kabar PHK Massal Ratusan Kurir, Ini Kata Manajemen SiCepat
Apabila karyawan yang menandatangani perjanjian melanggar ketentuan tersebut maka akan dikenakan denda sekitar Rp 25 juta untuk Staff, Rp 50 juta untuk Supervisor, Rp 200 juta untuk Manager, Rp 400 juta untuk General Manager dan Vice President, dan Rp 600 juta untuk C-Level.
“Jadi mereka di awal tahun kemarin mereka buat perjanjian dengan menyatakan kalau misalkan saya resign, saya tidak bisa kerja lagi di perusahaan yang sejenis,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (14/3/2022).
Namun, dia dan teman-temannya selalu menolak setiap kali diminta manajemen perusahaan untuk menandatangani perjanjian tersebut.
Sebab, dia merasa posisi yang dia pegang bukanlah posisi penting yang dapat berpotensi membocorkan data perusahaan seperti yang ada di perjanjian tersebut.
“(Perjanjian) itu juga orientasinya ke duit, denda. Kalau misal saya terbukti membocorkan data perusahaan, kan itu juga bisa diurus (jalur hukum) tanpa harus mengancam seperti ini,” ucapnya.
Lagi pula, kata dia, meski sudah menandatangani perjanjian tersebut, belum tentu dia dapat terlepas dari bayang-bayang PHK.
“Saya tetap mau kerja, tapi enggak mau ada embel-embel ini. Menurut saya, itu enggak adil. Kalau memang perusahaan mau (buat perjanjian) seperti ini, ya harusnya ke marketing dan IT karena mereka yang pegang sektor kritikalnya,” jelas dia.
Hingga akhirnya awal Maret 2022, dia bersama teman-teman yang menolak menandatangani perjanjian tersebut dipanggil ke ruangan untuk menghadap manajemen perusahaan.
Manajemen perusahaan mengatakan, jika dia tidak mau menandatangani perjanjian maka diminta untuk segera mengajukan resign dari perusahaan. Namun, dia dengan tegas menolaknya.
“Kita masuk ruangan itu HRD-nya lima orang, kita sendirian,” kata dia.
Saat ini status kerjanya masih menggantung karena masih menunggu keputusan dari manajemen perusahaan. Sementara itu, karyawan-karyawan lain sudah banyak yang keluar dari perusahaan.
“Yang sudah tanda tangan resign mereka sudah pusing didesak begini terus, akhirnya mereka tanda tangan resign,” kata dia.
Dia hanya meminta jika perusahaan memang ingin melakukan efisiensi maka berikan pesangon secara layak dan bukan memaksa karyawan untuk mengajukan resign sendiri.
“Kalau perusahaan suruh saya berhenti, ya perusahaan PHK dan kasih pesangon ke saya. Sesuai ketentuan saja,” tegasnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.