Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tanya-tanya Pajak di Kompas.com
Konsultasi dan Update Pajak

Tanya-tanya Pajak merupakan wadah bagi Sahabat Kompas.com bertanya (konsultasi) dan memperbarui (update) informasi seputar kebijakan dan praktik perpajakan.

5 Istilah Terkait PPh dan SPT Tahunan Pajak

Kompas.com - 18/03/2022, 06:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

SALAH satu rutinitas tahunan yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap orang yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh).

SPT Tahunan merupakan dokumen yang digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang sudah dilakukan, penghasilan yang diterima baik yang menjadi objek pajak maupun bukan objek pajak, termasuk melaporkan kepemilikan harta dan utang yang dimiliki wajib pajak. 

Mengacu pada Pasal 3 Undang-undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP), jangka waktu penyampaian SPT Tahunan berbeda antara wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. 

Baca juga: 3 Skenario Pajak Penghasilan (PPh) Suami Istri

Untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP), waktu penyampaian SPT Tahunan adalah pada kurun 1 Januari - 31 Maret. Adapun bagi wajib pajak (WP) badan, SPT Tahunan disampaikan pada 1 Januari-30 April.

Terkait kewajiban pelaporan SPT Tahunan PPh, berikut ini lima terminologi alias istilah perpajakan terkait kewajiban pelaporan SPT: 

1. Bukti potong

Bukti potong atau tax witholding slip merupakan dokumen yang dapat dijadikan bukti bahwa pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak telah dipotong. Ada beberapa jenis bukti potong Pajak Penghasilan (PPh), yaitu: 

Bukti Potong PPh Pasal 21

Bukti potong PPh pasal 21 diterbitkan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, dan dana pensiun badan yang membayarkan honorarium, serta penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran terkait suatu kegiatan.

Baca juga: Selalu Kurang Bayar, Bagaimana Cara agar SPT Pajak Nihil? 

Ada tiga jenis formulir bukti potong PPh pasal 21 yang saat ini bisa digunakan, yaitu:

  • formulir 1721-A1, yang diperuntukkan bagi wajib pajak pegawai tetap serta penerima pensiun atau tunjangan hari tua.
  • formulir 1721-A2 bagi wajib pajak pegawai negeri sipil (PNS) anggota Polri dan anggota TNI.
  • formulir 1721-B1 untuk wajib pajak yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21 Final.

Bukti Potong PPh Pasal 22

Bukti potong PPh Pasal 22 dikeluarkan oleh bendahara dan institusi lain yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22, karena telah melakukan pembayaran atas penyerahan barang. 

Baca juga: Catat, Beda Kewajiban Faktur Pajak untuk 2 Jenis Pengiriman FOB

PPh 22 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas badan usaha, baik milik pemerintah maupun badan usaha swasta, yang melakukan kegiatan ekspor dan impor.

Pajak jenis ini memiliki tarif yang bervariasi dan bergantung dari pemungut serta objek dan jenis transaksi.

Bukti Potong PPh Pasal 23/26

Bukti potong PPh pasal 23 dan bukti potong PPh pasal 26  merupakan dokumen yang menunjukkan bahwa pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, dan imbalan jasa telah dipotong. 

Baca juga: Bisakah Investasi dan Dividen Bebas Pajak?

Bedanya, bukti potong PPh Pasal 23 dikenakan kepada wajib pajak dalam negeri, sementara bukti potong PPh pasal 26 dikenakan terhadap wajib pajak luar negeri.

Jenis formulir yang digunakan sebagai bukti potong PPh pasal 26 yaitu 1721-VI. 

Bukti Potong PPh Pasal 15

Bukti potong PPh pasal 15 merupakan dokumen yang menunjukkan bahwa pajak atas penghasilan terkait kegiatan pelayaran dalam negeri, pelayaran atau penerbangan luar negeri dan penerbangan dalam negeri telah dipotong.

2. Harta dan kewajiban

Harta atau aset merupakan seluruh kekayaan wajib pajak baik berwujud maupun tidak berwujud serta harta bergerak atau tidak bergerak di mana pun berada yang berasal dari akumulasi tambahan kemampuan ekonomis.

Adapun kewajiban atau liability merupakan jumlah pokok utang yang dimiliki wajib pajak. Semua harta dan kewajiban yang dimiliki wajib pajak harus dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh. 

3. PTKP

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau Non-taxable Income merupakan batasan pendapatan wajib pajak orang pribadi yang tidak diperhitungkan dalam penghitungan  PPh pasal 21.

Besaran PTKP yang berlaku saat ini sebesar Rp 54 juta setahun untuk wajib pajak yang belum menikah, bercerai, dan atau tidak memiliki tanggungan.

Baca juga: Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Bisa Lebih dari Rp 54 Juta Setahun

Adapun bagi wajib pajak yang menikah dan atau memiliki tanggungan, nilai PTKP bisa mendapat tambahan dari: 

  • Rp 4,5 juta untuk status kawin
  • Rp 54 juta untuk istri yang penghasilanya digabung dengan suami
  • Rp 4,5 juta untuk tiap tanggungan, dengan maksimal tiga tanggungan. 

4. Penghasilan kena pajak

PPh tidak seketika dihitung dari total penghasilan yang kita terima dalam satu tahun. Total penghasilan, penerimaan, pendapatan, atau tambahan ekonomis itu dalam perpajakan disebut sebagai penghasilan bruto.

Baca juga: Bagaimana Aspek Pajak atas Keuntungan Investasi Saham di Singapura?

Dari penghasilan bruto, kita harus menghitung dulu besaran penghasilan netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya. Perhitungan netto ini kemudian dikurangi nilai PTKP.

Hasil pengurangan penghasilan netto dengan PTKP inilah yang disebut sebagai Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besaran PKP ini yang menjadi dasar dari penghitungan PPh terutang.

Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dan tidak mencatat biaya-biaya yang dikeluarkan, penghitungan penghasilan netto dapat  menggunakan norma, sepanjang telah mendapatkan persetujuan dari Dirjen Pajak.

Baca juga: Apa Beda Pencatatan dan Pembukuan dalam Perpajakan Pelaku Usaha dan Pekerja Bebas?

5. Penghasilan kena tarif PPh Final

Penghasilan yang dikenai tarif PPh final atau income subject to final income tax merupakan penghasilan tertentu yang mekanisme penghitungannya pajaknya dilakukan secara final atau pajaknya sudah langsung dipotong oleh pemberi penghasilan. 

Wajib pajak yang menerima penghasilan tidak perlu memasukkannya ke dalam komponen penghitungan PKP dalam SPT tahunan. Jadi, wajib pajak cukup melaporkan PPh final yang telah dipotong di dalam SPT tahunan PPh. 

Baca juga: Pengusaha Kecil Eks Korban PHK, Bagaimana Hitung Pajaknya?  

Beberapa jenis penghasilan yang dikenai PPh final: 

  • bunga dari deposito, tabungan, obligasi, surat utang negara, serta simpanan koperasi
  • penghasilan  berupa hadiah undian
  • penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
  • penghasilan dari transaksi pengalihan harta
  • usaha jasa konstruksi, real estate, dan persewaan tanah dan atau bangunan
  • Penghasilan wajib pajak berstatus pengusaha atau pekerja bebas dengan nilai peredaran usaha (omzet) maksimal Rp 4,8 miliar setahun.

Baca juga: Ada Konsultasi Pajak di Kompas.com, Bertanyalah...

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com