Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program Subsidi Pertanian Sebaiknya Dievaluasi, Kenapa?

Kompas.com - 18/04/2022, 18:00 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program subsidi pertanian demi mencapai ketahanan pangan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mengatakan, evaluasi ini harus dilakukan karena menurutnya, peningkatan tahunan anggaran subsidi ternyata tidak serta-merta mendorong peningkatan produktivitas komoditas pangan.

"Diperlukan reformasi kebijakan subsidi pertanian secara menyeluruh, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap,” ujar Aditya Alta dalam siaran persnya, Senin (18/4/2022).

Baca juga: Lewat Program Taxi Alsintan, Kementan Hibahkan Peralatan Pertanian Modern untuk Petani Banyuasin

Penelitian CIPS menemukan bahwa peningkatan subsidi input pertanian berdampak kecil pada peningkatan produktivitas. Ini juga berkaitan dengan permasalahan yang masih sering terjadi di lapangan, misalnya kelangkaan pupuk bersubsidi yang menyebabkan petani mengurangi penggunaan pupuk atau membeli pupuk non-subsidi yang lebih mahal.

Aditya juga mengatakan, permasalahan lainnya adalah masih rendahnya penggunaan input dengan potensi hasil yang tinggi dan kurangnya kombinasi input secara optimal.

"Walaupun secara historis program subsidi pupuk berjasa meningkatkan produktivitas padi, efektivitasnya saat ini tampak sudah maksimum dengan cukup meratanya penggunaan pupuk, terutama di Pulau Jawa," terang Aditya.

Baca juga: Barang Hasil Pertanian Tertentu Kena PPN 1,1 Persen, Ditjen Pajak: 2013 Tarifnya 10 Persen...

Dari penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi yang cenderung stagnan dari 2014-2019.

Di samping itu, target produksi 2020 sebesar 59,15 juta ton gagal tercapai dengan realisasi hanya 54,65 juta ton.

Padahal, kata Aditya, pupuk bersubsidi menghabiskan anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020.

Lebih lanjut Aditya menerangkan, tiga kebijakan subsidi pertanian yang masih digunakan saat ini adalah pupuk bersubsidi, kartu tani dan program bantuan benih.

Menurutnya, subsidi pupuk, sebaiknya diubah menjadi pembayaran langsung kepada petani untuk memangkas perantara dan memastikan bantuan tepat sasaran.

Kemudian, kebijakan Penerapan Kartu Tani juga dapat diubah dengan memberlakukan pembayaran langsung (direct payment) dengan sistem yang tidak dapat ditarik tunai dan tidak membatasi pembelian untuk input diluar pupuk serta merek tertentu saja. Ini memungkinkan petani menggunakan saldo bantuan sesuai kebutuhannya.

“Petani yang memiliki fasilitas pengolahan pupuk organik, misalnya, mungkin memiliki kebutuhan pupuk yang lebih sedikit, sehingga lebih penting baginya untuk dapat membelanjakan saldo bantuan sesuai kebutuhannya,” ujar Aditya.

Dia menambahkan bahwa berkurangnya disparitas harga setelah subsidi pupuk dialihkan dapat mendorong masuknya produsen pupuk baru ke pasar.

Bantuan juga harus menyasar petani yang, tanpa adanya bantuan, tidak akan menggunakan input secara optimal, terutama karena alasan keterjangkauan.

"Harus ada pembedaan antara penggunaan input tidak optimal karena harga atau pengetahuan petani," imbuhnya.

Terakhir, kebijakan input termasuk pupuk bersubsidi, Aditya bilang harus memiliki target, indikator keberhasilan, dan didukung perencanaan dan evaluasi yang jelas.

"Jika target kebijakan sudah tercapai, atau evaluasi menunjukkan subsidi input tidak berhasil mencapai target, maka harus ada exit strategy berupa phasing out subsidi atau pengalihan ke program lain," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com