BEBERAPA waktu lalu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) memperkirakan tahun 2063 tak ada lagi profesi petani karena menyusutnya pekerja di sektor pertanian. Data Bappenas menunjukan tahun 1976 proporsi pekerja Indonesia di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, tahun 2019 turun signifikan menjadi hanya 28 persen.
Sebagian besar pekerja sektor pertanian telah beralih profesi ke sektor lain, terutama sektor jasa yang proporsinya pada 1976 sebesar 23,57 persen, lalu naik menjadi 48,91 persen di tahun 2019. Begitu pula dengan proporsi pekerja di sektor industri yang meningkat menjadi 22,45 persen di 2019 dari sebelumnya 8,86 persen di tahun 1976.
Baca juga: Harga Sawit Rp 400 per Kg, Pabrik Tutup, Buah Dibiarkan Busuk, Petani Kini Kerja Serabutan
Masih menurut Bappenas, penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian sejalan dengan semakin berkurangnya lahan pertanian. Pada 2013 lahan pertanian mencapai 7,75 juta hektar tetapi di 2019 turun menjadi 7,45 juta hektar.
Salah satu faktor pendorongnya adalah perubahan tata guna lahan akibat pesatnya urbanisasi. Padahal di 2045 penduduk yang tinggal di perkotaan diperkirakan akan naik mencapai 67,1 persen. Berdasarkan pergeseran tren tersebut, profesi petani berpeluang hilang di tahun 2063, demikian dikatakan Plt Direktur Daerah Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas, Mia Amalia.
Saat ini sektor pertanian memang masih menjadi salah satu kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional, apalagi untuk daerah-daerah yang menjadi sentra pertanian. Namun produktivitasnya kian menurun. Risikonya, tenaga kerja yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian kian tak pasti kehidupannya.
Sebagian persoalan yang dialami petani terletak pada masalah fluktuasi harga komoditas pertanian, sebagian lagi pada kondisi di masa panen. Siklus panen menjadi bagian dari kelangsungan hidup petani. Jika terjadi gagal panen, para petani akan terimbas masalah tambahan. Utang akan semakin menumpuk, beban hidup semakin berat, kelangsungan kehidupan keluarga mereka juga terancam.
Siklus hidup semacam ini akan terus membayangi kualitas regenerasi keluarga petani. Kualitas hidup dan kondisi kesehatan anak-anak petani sangat bergantung kepada kantong orangtuanya. Semakin baik penghasilan petani, akan semakin baik nutrisi yang didapatkan keluarga mereka. Namun jika terjadi gagal panen, asupan nutrisi kian tak pasti.
Persoalan lainya, jika para petani bisa melewati masa krisis, mampu meningkatkan taraf hidupnya dan menghasilkan anak-anak yang berpendidikan baik, anak-anak itu pindah ke daerah perkotaan. Ancaman selanjutnya adalah degenerasi. Petani akan kekurangan penerus.
Anak-anak yang sempat dikirim ke kota untuk menimpa ilmu, enggan kembali ke desa dan enggan memajukan usaha pertanian orangtuanya. Untuk petani yang punya lahan terbatas, pendidikan justru dianggap sebagai salah satu solusi untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Baca juga: Zulkifli Hasan Sebut Cabai Mahal Jadi Bonus bagi Petani, IKAPPI: Cacat Logika
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.