Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
NEVER STOP

Adaptasi atau Mati, Cerita Fujifilm Hadapi Krisis Akibat Digitalisasi

Kompas.com - 31/08/2022, 08:03 WIB
Wisnu Nugroho,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Ketika karya fotografi mulai dijajakan kepada khalayak pada abad ke-19, kebiasaan masyarakat untuk memperoleh potret diri perlahan mulai berubah. Tak ada lagi pose berjam-jam di hadapan pelukis untuk membuat sebuah potret. Cukup berdiri sebentar di depan kamera dan menunggu fotografer menjepret, pengambilan potret pun selesai.

Lalu, perangkat kamera berkembang dan photographic film ditemukan. Pengabadian momen spesial menggunakan kamera pun menjadi kebiasaan. Di pernikahan, wisuda, atau sekadar jalan-jalan, orang-orang menenteng tustel.

Pada dekade 1990-2000, tustel analog mencapai puncak popularitas. Saat itu, gerai pencucian film—istilah yang barangkali sudah terlupakan saat ini—ramai dikunjungi untuk mencetak foto atau membeli film dan album.

Kini, teknologi semakin canggih. Tustel analog berganti digital. Gerai pencucian film yang dulunya mudah ditemukan di pinggir jalan pun semakin langka. Akan tetapi, kebiasaan mengabadikan momen tetap tumbuh subur, terlebih dengan difasilitasi oleh kamera smartphone dan media sosial.

Di sepanjang lini masa dunia fotografi, nama Fujifilm tak mungkin bisa dilepaskan begitu saja. Fujifilm yang didirikan pada 1934 merupakan salah satu dari dua perusahaan yang menguasai pangsa pasar di industri photographic film.

Baca juga: Fujifilm, Dulu dan Sekarang

Pada 2000, 60 persen penjualan Fujifilm dan 70 persen profit perusahaan disumbang dari berjualan produk photographic. Bisa dibayangkan betapa penting photographic product sebagai tulang punggung perusahaan.

Namun, selepas milenium baru, bisnis photographic film mengalami penurunan drastis. Musababnya, teknologi digital yang pada medio 1990-an masih mahal mulai terjangkau dan sudah diaplikasikan pada banyak peralatan elektronik.

Pada 2003, industri photographic film dan kamera analog memasuki senjakala. Seperti dilansir dari crm.org, Kamis (17/9/2020), gerai pencucian film mengalami penurunan omzet secara drastis, dari memproses 5.000 rol film per hari menjadi 1.000, bahkan lebih rendah lagi jika dibandingkan pada 2000.

Hal tersebut berdampak pada penjualan photographic film Fujifilm. Saat ini, photographic film menyusut hingga 1 persen dari total penjualan keseluruhan produk perusahaan.

Mitigasi krisis, inovasi, dan diversifikasi

Di awal 2000-an merupakan masa krisis bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan penjualan teknologi analog. Bahkan, tidak sedikit perusahaan harus gulung tikar karena tak bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi dan kebiasaan konsumen, termasuk Kodak—pesaing utama Fujifilm.

Mantan CEO Fujifilm, Shigetaka Komori, langsung mengaktifkan mode krisis. Dalam bukunya Innovating Out of Crisis: How Fujifilm Survived (and Thrived) As Its Core Business was Vanishing (2015), ia menceritakan bahwa perusahaan sebenarnya sudah memprediksi dampak yang dibawa akibat digitalisasi.

Pada 1980-an, Fujifilm telah melakukan sejumlah riset untuk mengantisipasi perkembangan digitalisasi. Fujifilm mengembangkan kamera kompak digital pertama, DS-1P, pada periode tersebut.

Fujifilm juga tak berhenti berinovasi pada kamera saja. Guna menyambut teknologi serba digital, perusahaan juga melakukan riset printer inkjet dan diska optik.

Printer inkjet disiapkan sebagai pengganti cetak menggunakan pelat. Sementara, diska optik sebagai antisipasi ketika perangkat komputer sudah digunakan banyak orang. Bila hal ini terjadi, Fujifilm telah menyiapkan media penyimpanan data di perangkat komputer.

Perusahaan juga memperkuat riset material fotosensitif serta merambah industri farmasi. Meski secara kasatmata terlihat berseberangan, sebenarnya industri photographic film dan farmasi memiliki kemiripan, yakni sama-sama berkaitan dengan senyawa kimia.

Kendati demikian, upaya menyambut digitalisasi dua dekade lebih awal ternyata belum membuahkan hasil memuaskan. Kualitas foto dari kamera digital saat itu belum bisa menyaingi kamera analog. Ditambah lagi, kamera digital merupakan barang mahal saat itu. Alhasil, kamera analog masih jadi primadona dan penjualan rol film semakin meroket pada penghujung abad ke-20.

Baca juga: Cara Fujifilm Hidupkan Kembali Kebiasaan Cetak Foto

Komori menulis, semua orang percaya diri bahwa kinerja penjualan rol film yang bagus tidak akan terganggu oleh kehadiran digitalisasi.

Di sisi lain, bisnis baru seperti print inkjet, diska optik, serta produk farmasi ditangguhkan untuk sementara waktu pada saat itu. Alhasil, fokus perusahaan masih tertuju pada penjualan photographic film pada 1980-2000.

Lalu, selepas 2000, teknologi digital meluluhlantakkan bisnis photographic film. Di masa sulit, sejumlah manufaktur photographic film terpaksa ditutup. Fujifilm juga harus mengambil keputusan berat untuk mengurangi 5,000 karyawan yang berhubungan dengan bisnis film secara global, dan secara bersamaan berjuang untuk menyelamatkan sebanyak mungkin pekerjaan dengan memindahkan karyawan lainnya ke lini bisnis yang berbeda, agar bisnis photographic film terus berjalan.

Fujifilm kemudian kembali fokus pada core dan fundamental technology yang mereka miliki untuk melakukan diversifikasi. Riset-riset pengembangan film fotografi diimplementasikan pada industri kosmetik dan farmasi.

Contohnya adalah produk Astalift. Skincare anti-aging ini dikembangkan dari teknologi yang diciptakan dalam riset photographic film, yakni antioksidasi yang sebelumnya diaplikasikan pada konversi warna film, teknologi nano untuk mengontrol partikel kecil di film, dan teknologi kolagen. Sebagai bahan dasar penting dalam photographic film, Fujifilm telah melakukan riset terhadap kolagen (gelatin) sejak lama.

Pada 2011, Fujifilm telah menandatangani kontrak pengembangan dan pembuatan biofarmasi yang memanfaatkan teknologi produksi dan rekayasa yang dikembangkan melalui photographic film.

Bisnis sistem medis, termasuk alat radiologi, juga sudah menjadi salah satu bisnis penting Fujifilm. Saat ini, bisnis sistem medis Fujifilm telah berkembang dan menawarkan beragam produk peralatan medis, seperti alat radiologi, endoskopi, ultrasuara, alat diagnostik in-vitro, serta sistem teknologi informasi (TI) medis.

Teranyar, perusahaan berhasil menciptakan alat radiologi portabel. Alat ini memudahkan tenaga medis untuk mengambil dan memeriksa hasil rontgen dengan mudah di tempat-tempat dengan ruang terbatas, seperti di rumah. Sebuah inovasi yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Lini bisnis sistem medis menyumbang 32 persen dari total pendapatan Fujifilm pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2022, yakni 801,7 miliar yen.

Menariknya, perusahaan tidak meninggalkan inti bisnis mereka, yakni di bidang imaging. Saat perusahaan lain memutuskan meninggalkan bisnis photographic film, Fujifilm justru menegaskan komitmennya untuk mempertahankan lini bisnis tersebut.

Foto merupakan aspek yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Foto mengingatkan pada sejumlah momen istimewa di kehidupan manusia. Salah satu misi Fujifilm adalah mendukung keajaiban yang diciptakan fotografi.

Oleh karena itu, Fujifilm tidak pernah berhenti berinovasi guna mewujudkan misi tersebut. Kamera mirrorless seri X dan seri GFX, serta kamera instan “instax” disambut baik pencinta fotografi.

Lewat inovasi secara konsisten, pendapatan Fujifilm secara total mengalami peningkatan 15 persen dari tahun-ke-tahun pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2022 menjadi 2.525,8 miliar yen. Perusahaan juga mencatatkan rekor pendapatan operasional tertinggi sebesar 229,7 miliar yen.

Selain itu, segmen perawatan kesehatan tumbuh menjadi segmen terbesar, baik dari segi pendapatan kotor maupun pendapatan operasional untuk pertama kali.

Never stop innovation dan budaya perusahaan

Keberhasilan Fujifilm terlepas dari masa krisis bahkan bisa tumbuh subur di era digitalisasi bisa terjadi berkat manajemen perusahaan yang baik. Respons cepat menghadapi krisis menjadi kunci Fujifilm bisa berbalik.

Perusahaan fokus pada apa yang dimiliki dan mengembangkan peluang dari hal itu. Dari bisnis utama photographic film, Fujifilm pun sukses menjelajah ke bisnis perawatan kesehatan.

Semangat perusahaan untuk selalu berinovasi atau never stop innovating merupakan fondasi Fujifilm. Inovasi dan solusi yang diciptakan perusahaan berkontribusi untuk menciptakan dunia baru yang lebih baik.

Fujifilm juga berhasil menciptakan budaya perusahaan yang mendorong inovasi. Visi perusahaan, yakni keterbukaan, keadilan, dan transparansi, memungkinkan budaya perusahaan ini tumbuh pada semua karyawan.

Perubahan bisa terjadi kapan saja. Demikian pula tantangan dan kesempatan. Keterbukaan, transparansi, dan keinginan beradaptasi, seperti yang diterapkan Fujifilm, jadi modal untuk bisa bangkit dari krisis.

Bahkan, perusahaan dapat menghadapi tantangan untuk mengembangkan produk serta menciptakan nilai baru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com