Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
UNTUK NEGERI

Subsidi BBM Jadi Candu, Saatnya Menata Ulang Formula Penyesuaian Harga BBM

Kompas.com - 31/08/2022, 10:14 WIB
Yogarta Awawa Prabaning Arka,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com- Pakar ekonomi pembangunan, Faisal Basri, menyampaikan pandangannya terhadap rencana pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah.

Ia menilai, pengurangan subsidi BBM secara bertahap dan mengalokasikan anggarannya ke sektor yang lebih produktif oleh pemerintah merupakan jalan terbaik untuk menjaga stabilitas fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini.

“Idealnya, penetapan harga BBM ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, seperti dulu diterapkan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi),” ujar Faisal dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (30/8/2022).

Kini, menurutnya, demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, subsidi BBM juga harus dihilangkan secara bertahap.

Seperti diketahui, polemik mengenai subsidi BBM mencuat menyusul potensi membengkaknya biaya subsidi BBM yang menjadi beban APBN. Belum lagi, Negara harus menghadapi kenaikan inflasi dunia karena disrupsi rantai pasok akibat pandemi Covid-19 dan perang.

Polemik subsidi BBM pun pada akhirnya, kata Faisal, memunculkan dilema.

Subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Melepaskan diri dari ketergantungan (subsidi BBM) tersebut memang sulit, tapi bukan hal yang mustahil,” tuturnya.

Baca juga: Menimbang Dampak Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Menurutnya, Presiden Jokowi sudah membuat kebijakan yang baik di awal pemerintahannya. Ke depan, pihak pemerintahan hanya perlu melaksanakannya secara konsisten.

Sebagai informasi, Presiden Jokowi sempat mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM untuk melakukan pengurangan subsidi BBM.

Berdasarkan aturan tersebut, harga BBM kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum seribu rupiah per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global. Dalam hal ini, harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS).

“Berdasarkan aturan tersebut, harga jual eceran BBM (akan) diubah setiap bulan sesuai perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar,” ujarnya.

Faisal memaparkan, kala itu, pencabutan subsidi berdampak besar pada pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp 191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp 34,9 triliun pada 2015.

Dalam implementasinya, formula tersebut tak sepenuhnya berjalan, terutama sejak terbitnya Perpres Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Perpres tersebut memberi kewenangan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan yang dihitung berdasarkan formula.

Sejak itu, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina, selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium, atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.

Petugas melayani pembeli Pertalite di SPBU Abdul Muis, Jakarta Pusat. DOK. KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO. Petugas melayani pembeli Pertalite di SPBU Abdul Muis, Jakarta Pusat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com