WHO juga melaporkan penggunaan tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun (15 orang per menit) di dunia, terdiri 7 juta pengguna aktif tembakau dan 1,2 juta orang perokok pasif.
Jika kesadaran tentang bahaya merokok tidak tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10 juta perokok akan meregang nyawa.
Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menyatakan merokok dikaitkan dengan 1,7 juta kematian akibat penyakit jantung iskemik, 1,6 juta kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik, 1,3 juta kematian akibat kanker trakea, bronkus dan paru-paru, serta hampir 1 juta kematian akibat stroke.
Perokok memiliki harapan hidup rata-rata 10 tahun lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok.
Riskesdas (2018) melaporkan 33,8 persen (89,570 juta) penduduk Indonesia (62,9 persen laki-laki dan 4,8 persen perempuan) adalah perokok.
Angka tersebut menjadikan Indonesia negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia setelah China dan India.
Selain itu terbanyak pertama di Asean, jauh melebihi Philipina (16,62 persen), Vietnam (14,11 persen), Myanmar (8,73 persen), Thailand (7,74 persen), Malaysia (2,90 persen), Kamboja (2,07 persen), Laos (1,23 persen), Singapura (0,39 persen), dan Brunei (0,04 persen).
Riskesdas juga mencatat angka perokok anak di Indonesia cukup tinggi, bahkan mengalami kenaikan dari 7,2 persen per 2013 menjadi 9,1 persen (7,235 juta) dari 79,5 juta anak per 2018.
Di antara perokok anak, 1,5 persen mulai merokok pada usia yang sangat muda, yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan “baby smoker country”.
Lebih dari 30 persen perokok anak mengonsumsi lebih dari 10 batang per hari dan 2,6 persen mengkonsumsi lebih dari 20 batang per hari.
Konsumsi rokok oleh anak telah membakar percuma uang sebesar Rp 68,14 miliar per hari (Rp 24,87 triliun per tahun).
Hal ini dapat menjadi bom waktu pada 20-25 tahun mendatang, mengingat timbulnya penyakit seperti kanker berhubungan dengan lamanya merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi.
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mulai merokok pada awal masa remaja dan terus menerus merokok selama 20 tahun atau lebih akan meninggal 20 atau 25 tahun lebih muda dibanding mereka yang bukan perokok.
Konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting (balita kerdil) pada anak yang saat ini jumlahnya mencapai 24,4 persen (SGSI, 2021).
Di Indonesia rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan makanan pokok. BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236.
Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 73.442 (12,17 persen), mengalahkan pengeluaran untuk pangan seperti beras Rp 66.789 (11,07 persen), ikan Rp 46.570 (7,72 persen), telur dan susu Rp 34.860 (5,78 persen), dan daging Rp 26.441 (4,38 persen).
Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Juli 2021, menyebutkan pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin bahkan mencapai Rp 364.000 per bulan.
Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik.
Fakta tersebut membuktikan fenomena salah konsumsi (miskonsumsi) di Indonesia, di mana penduduk lebih mengutamakan konsumsi racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada telur dan sumber protein hewani lain yang menyehatkan jasmani dan mencerdaskan otak keluarga dan bangsanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.