Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Meracik Upah Layak Pasca-kenaikan Harga BBM

Kompas.com - 20/09/2022, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Indeks Kaitz Indonesia memang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.

Dalam satu riset, dari 180 negara yang diobservasi, hanya 15 persen negara yang memilik Indeks Kaitz di atas Indonesia.

Namun, perlu dipahami bawa indeks Kaitz yang tinggi juga menunjukkan ada rentang yang luas antara upah tertinggi dan upah terendah di Indonesia. Artinya ada kesenjangan upah minimum yang tinggi antarwilayah di Indonesia.

Melihat kondisi pengupahan dan dampaknya hanya dari satu indikator statistik tanpa melihat fenomenal sosial di lapangan, bisa cukup menyesatkan.

Lebih jauh, sebenarnya implementasi upah minimum hanya berlaku bagi para pekerja dengan masa kerja di bawah setahun. Jika sudah lebih setahun penggajian akan mengacu pada struktur standar upah (SSU) perusahaan.

Namun masih banyak perusahaan yang belum memiliki SSU yang jelas sesuai dengan ketentuan. Tanpa SSU, pekerja cenderung dibayar sebesar upah minimum meski masa kerjanya sudah lebih dari setahun.

Tentu saja kondisi ini merugikan pekerja. Terlebih, sebagian besar pekerja di Indonesia bukan merupakan karyawan gaji tetap, sehingga upah minimum pun tidak berlaku bagi mereka.

Sementara yang masuk dalam klasifikasi karyawan dengan gaji tetap juga tidak semuanya diupah sesuai upah minimum.

Menuju upah efektif

Melihat kondisi tersebut, berlindung di balik tingginya Indeks Kaitz sebagai alasan untuk menahan kenaikan jelas kurang bijaksana terlebih di situasi saat ini.

Jika interpretasi Indeks Kaitz tanpa didampingi data fenomena sosial bisa mendorong kebijakan yang kurang tepat dan bisa jadi malah menurunkan kesejahteraan pekerja.

Sebenarnya mudah saja, jika perkara Indeks Kaitz tinggi dianggap akar masalah pengupahan, bisa diselesaikan dengan meningkatkan batas bawah upah dan menahan batas atas upah yang sudah tinggi agar tidak makin tinggi.

Dengan mengurangi gap keduanya, maka akan mencerminkan keadilan upah yang sesungguhnya.

Fokus lain yang juga penting adalah bagaimana agar cakupan upah tidak lagi hanya sekadar mengikuti alur upah minimum, tetapi menuju upah efektif yang nominalnya lebih besar dari upah minimum.

Besarannya dapat ditentukan ruang diskusi bipartite antara pekerja dan pengusaha. Sayangnya, ruang diskusi ini kian sempit dengan tameng “klasik” bahwa upah minimum sudah terlalu tinggi.

Sesuai formula yang ditetapkan, upah minimum di beberapa wilayah memang sudah cukup tinggi. Di beberapa wilayah lainnya justru bisa sangat rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com