Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Alasan Kita Rentan Kena Tipu Berkedok Investasi: Percaya

Kompas.com - 23/10/2022, 08:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"YANG menawari investasi itu teman baik," ujar Ika, sebut saja begitu, perempuan yang baru saja kehilangan seluruh tabungan pendidikan anaknya karena skema penipuan berkedok investasi.

Menjadi semakin pelik, karena yang mengajaknya pun juga sama-sama kehilangan dana investasi, bahkan dalam nominal lebih besar lagi. Sama-sama kena tipu.

Kisah di atas meluncur di tengah marak terungkapnya modus skema penipuan berkedok investasi menggunakan robot trading, beberapa waktu lalu. Tentu, ini bukan satu-satunya kasus dan modus penipuan dengan embel-embel investasi.

Terkini, salah satu yang sedang menjadi sorotan terkait penipuan—lagi-lagi berkedok investasi—adalah skema pig butchering.

Pertanyaannya, mengapa kita bisa rentan kena penipuan, termasuk yang berkedok investasi semacam ini?

Jawabannya, ternyata cukup sederhana. Setidaknya ini menurut hasil penelitian yang dilakukan pakar keamanan siber, Monica T Whitty. 

"(Alasan kita rentan kena tipu adalah karena) kita percaya," ujar Whitty, dalam tulisan berjudul The Scammers Persuasive Techniques Model: Development of a Stage Model to Explain the Online Dating Romance Scam.

Baca juga: Waspada Penipuan Pig Butchering, Kenali Modusnya

Terbit di The British Journal of Criminology Vol 53 No 4, yang dilansir Oxford University Press, Whitty menulis bahwa para penipu menggunakan celah hasrat kita untuk mempercayai hal-hal baik dan kebaikan sebagai jalan masuk penipuan.

Menurut Whitty, banyak korban penipuan percaya bahwa mereka tengah dan telah bertindak sesuai norma sosial. Norma ini mencakup dorongan membantu seorang anak yang tengah terbaring sakit, menjalin hubungan romantis, dan—yang paling kuat—keyakinan bahwa tidak ada orang yang sengaja hendak membohongi kita.

Lalu, ada juga pendekatan yang mengeksploitasi kecenderungan manusiawi kita untuk menang. Ini tampak lebih mendekati kasus-kasus penipuan terkini yang melibatkan uang besar dalam kedok investasi. 

Ketika pelaku penipuan menawarkan prospek keuntungan besar dan makin besar, korban sering kali terjerumus makin dalam dan dalam lagi dalam jerat penipuan, bahkan itu ketika dirinya sudah sadar ada yang terasa aneh bahkan salah. 

Whitty menyitir riset yang menemukan para korban berkeyakinan penipuan yang tengah menjeratnya sebagai taruhan peluang jangka panjang, sehingga mereka terus mencoba atau menempatkan tambahan dana untuk meraup iming-iming besar dalam jangka panjang itu. 

Penipu menggunakan secercah harapan tentang peluang keuntungan besar pada masa mendatang, juga patut diduga ada unsur keserakahan dalam diri kita yang mungkin tak disadari pula, sedemikian hingga penipuan akan selalu ada dan mendapatkan modus baru.

Baca juga: Kisah AA, Korban Pig Butchering Asal Indonesia yang Rugi Rp 500-an Juta 

Menurut Whitty, penipu pun cenderung tidak mengambil satu langkah besar dalam aksinya. Yang mereka lakukan, kata dia, adalah mengatur satu set tahapan dengan hati-hati untuk mendapatkan kepercayaan para korban.

Di antara cara memanipulasi percaya itu, lanjut Whitty, para penipu bisa pula menggunakan kedok berkekuatan otoritas seperti dokter, pengacara, pebisnis sukses, atau polisi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com