Meskipun penelitian Whitty berfokus pada penipuan berkedok romansa, ide yang sama cenderung dipakai untuk beragam penipuan, termasuk yang kini marak menggunakan bantuan teknologi atau mengikuti perkembangan media sosial.
Penelitian Whitty menelisik teknik persuasif yang digunakan para penipu. Salah satu hasilnya mendapati bahwa korban penipuan berkedok romansa membuat kesalahan keputusan relatif serupa dengan para korban penipuan massal lain.
Whitty mengembangkan pula pemodelan teknik persuasif penipuan yang menyoroti proses penipuan. Ini memberikan deskripsi korban dan memperlihatkan cara penipu menempel dan membangun kelekatan dengan para korban, sampai ke waktu bagi mereka meminta uang.
Pada akhirnya, dalam risetnya tersebut Whitty menyitir bahwa penipuan—dengan kedok apa pun—adalah paduan dari pengambilan keputusan yang salah oleh para korban dan serangkaian pendekatan para penipu yang memastikan para korban tak lepas dari jeratan penipuan.
Di negara dengan literasi keuangan yang belum meluas apalagi mendalam, problem dari beragam kasus penipuan berkedok investasi menjadi semakin kompleks karena melibatkan uang yang seharusnya tidak boleh digunakan untuk investasi—bahkan dalam instrumen paling legal dan jelas.
"Prinsip investasi di mana-mana sama, jangan pernah pakai uang panas," ujar perencana keuangan tersertifikasi, Ruisa Khoiriyah, tentang maraknya kehilangan uang bernominal besar karena risiko investasi apalagi penipuan.
Uang panas, ujar Ruisa, adalah nominal yang masih akan dipakai untuk memenuhi keperluan kita. "Bahkan untuk pemakaian lima tahun lagi, tidak boleh buat investasi yang berisiko tinggi," ujar dia.
Investasi, tegas Ruisa, harus memakai uang dingin, bahkan bila perlu uang yang ibaratnya sudah dibekukan di lemari pendingin. "Benar-benar harus uang di luar alokasi kebutuhan."
Ruisa mengingatkan, investasi yang benar sekalipun tetaplah punya dua sisi keping mata uang, yaitu peluang untung dan kemungkinan merugi. Bersamaan, setiap orang punya profil risiko yang berbeda. Karenanya, kata Ruisa, setiap kehendak investasi harus benar-benar dihitung.
Bisa jadi, ujar Ruisa, seseorang punya banyak uang dan aset tetapi tidak nyaman menempatkan dana di investasi berisiko tinggi seperti saham dan kripto. Investor dengan profil seperti ini cenderung berkeinginan mengamankan uang dari gerusan inflasi dan tak mengejar return tinggi.
Sebaliknya, lanjut Ruisa, ada investor yang memang berorientasi mengejar return tinggi. Profil seperti ini semestinya sudah di tataran sadar risiko.
"Profil risiko ada agresif, moderat, atau konservatif. Bersama profil risiko, perhitungkan juga tujuan keuangan masing-masing," imbuh Ruisa.
Saat menghitung profil risiko dan tujuan keuangan, lini masa keuangan juga dengan sendirinya akan jadi pertimbangan. Dengan ketiga perhitungan masing-masing ini, uang yang dari semula direncanakan untuk biaya menikah atau sekolah anak dalam kurun dua tahun ke depan, misalnya, tidak layak dipakai untuk investasi berisiko tinggi.
"Time horizon ini berkaitan juga dengan instrumen investasi yang hendak dipilih," ujar Ruisa.
Era digital yang memungkinkan taburan iklan dan iming-iming investasi dengan hasil perolehan besar, menurut Ruisa adalah tantangan zaman pada saat ini.