JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan pasar karbon dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) tengah memasuki masa yang krusial. Hal ini terkait dengan desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.
Menurut Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya Pemerintah tahun 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global.
Melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Baca juga: Proyek Dekarbonisasi Perusahaan Jepang di RI Berpotensi Kurangi 30 Juta Ton Emisi Karbon Pada 2022
Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan APBN.
“Kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha. Mengingat urgensi kehadiran pasar karbon, maka pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir beberapa perbaikan,” kata Bhima dalam siaran pers, Selasa (22/11/2022).
Bhima mengungkapkan, keterlibatan Bappebti sangat dibutuhkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan.
“Peluang kolaborasi antara Bappebti dan OJK nantinya dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti yang mengatur perdagangan komoditi karbon, sementara OJK yang akan memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan,” ujar Bhima.
Baca juga: Menteri ESDM Bakal Pensiunkan 33 PLTU untuk Kurangi Emisi Karbon
Menurutnya, perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi, dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru.
Ketentuan berikutnya yang perlu di perbaiki adalah Pasal 5 A ayat 8 yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang OJK.
“Selain revisi pada Pasal 26, kami mendesak Pasal 5 A ayat 8 direvisi dengan jalan tengah kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon,” lanjutnya.
Bhima mengungkapkan, sebagian besar pemain bursa komoditi yang existing sudah memiliki infrastruktur memadai untuk menjalankan bursa karbon, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru dibawah wewenang OJK.
“Kami khawatir masa tunggu yang lama akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik, padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa,” kata Bhima.
Baca juga: Tekan Emisi Karbon, PLTU Jawa 9 dan 10 Bakal Coba Penggunaan Amonia Hijau
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.