Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Melewatkan Kesempatan Renegosiasi Kereta Cepat

Kompas.com - 07/12/2022, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2002, setahun setelah China secara resmi bergabung dengan WTO (World Trade Organisation), Kementerian Kereta Api China mulai menginisiasi proyek kereta cepat. Namun sayang, ternyata kereta cepat baru sebatas mimpi bagi China ketika itu. Teknologi dalam negeri China belum sampai ke sana. Walhasil, proyek tersebut gagal total, lalu diabaikan begitu saja.

Tahun 2004, Kementerian Kereta Api China menghidupkan kembali mimpi tersebut, tapi dengan cara lain. Dua BUMN (Badan Usaha Milik Negara) China yang berurusan dengan produksi kereta api didorong untuk melakukan transfer teknologi dengan menggandeng mitra dari luar negeri.

Dua BUMN tersebut adalah China South Locomotive & Rolling Stock Corp (CSR) and China North Locomotive & Rolling Stock Corp (CNR). Model perjanjian kerja sama yang ditawarkan, secara garis besar adalah bahwa pada mulanya mitra dari luar negeri boleh menjual teknologi kereta cepat yang sudah jadi kepada China, terutama untuk beberapa unit pertama.

Baca juga: Biaya Kereta Cepat Bengkak Gara-gara China Salah Hitung di Proposal

Namun seiring berjalannya proyek, perusahaan-perusahaan mitra tersebut harus mendidik dan melatih para pekerja China di dua BUMN tersebut untuk membangun kereta cepat sendiri. Setelah itu, secara teknis, pembuatan kereta cepat China harus menggunakan sekurang-kurangnya 70 persen kandungan lokal.

Dengan pasar domestik China yang besar dan menjanjikan, empat perusahaan teknologi kereta api kelas dunia tertarik untuk mengikat perjanjian kerja sama dengan China. Mereka adalah Alstom dari Prancis, Bombardier dari Kanada, Siemens dari Jerman, dan Kawasaki Industries dari Jepang.  Kawasaki dan Alstom kemudian memainkan peran yang cukup besar.

Hal itu sangat bisa dipahami mengingat Kawasaki Industries sudah 40-an tahun lebih dulu mengembangkan kereta cepat di Jepang dibanding China dengan lahirnya kereta Shinkansen yang legendaris itu (secara harfiah artinya bullet train atau kereta api berbentuk peluru) di tahun 1960-an.

Tahun 2015, dua BUMN China tersebut tersebut kemudian digabung menjadi satu perusahaan dengan nama China Railway Rolling Stock Corp (China Railway), sekaligus menjadi perusahaan penghasil kereta cepat tercepat di dunia dengan kapasitas produksi 200-an kereta cepat per tahun.

China Railway menjadi pioner yang menjadikan China sebagai negara dengan jaringan kereta cepat terpanjang sejagad raya dan berhasil memenangkan proyek-proyek pengadaan kereta cepat di banyak lokasi, mulai dari proyek kereta cepat di dataran Eropa seperti dari Spanyol ke Turki sampai pada kereta cepat dari Madinah ke Mekah.

China Railway bahkan berani mengklaim bahwa kini kereta cepat tercepat buatanya bukan lagi jiplakan dari teknologi para gurunya (empat perusahaan dari empat negara tadi), tapi benar-benar teknologi hasil anak negeri (indigeneuos technology).

Padahal sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. China Railway masih tergantung pada pasokan dari empat perusahaan besar tadi yang telah menjadi mitra China Railway sedari awal, terutama untuk teknologi dan bagian-bagian tertentu. Beruntungnya, di sisi lain empat perusahaan global tersebut juga enggan menyanggah sesumbar yang dikeluarkan China Railway.

Menurut Paul Blustein dalam bukunya Schism. China, America, and The Fracturing of The Global Trading System (2019), perusahaan-perusahaan itu memilih bungkam dan enggan berseteru dengan pemerintahan China mengingat besarnya potensi pasar domestik China yang telah menyumbangkan keuntungan cukup besar kepada empat perusahaan itu.

Artinya, dengan kemitraan yang masih terjalin sampai hari ini, keempat perusahaan tersebut masih menikmati pengadaan sebagian teknologi dan bagian-bagian penting lainya untuk setiap produksi kereta cepat China Railway, meskipun hasil akhirnya sudah bukan lagi membawa merek dagang mereka.

Faktor yang tak kalah penting yang membuat China memiliki daya tawar sangat tinggi, sepanjang pengamatan saya terkait perkembangan pesat perekonomian China, adalah bahwa pendanaan proyek kereta cepat domestik dan global yang dijalankan China Railway nyaris tidak tergantung kepada penyandang dana dari luar.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau proyek Kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung pada Kamis (13/10/2022).KOMPAS.com/Haryantipuspasari Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau proyek Kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung pada Kamis (13/10/2022).
Beda China dengan Indonesia

Nah, persis di sinilah letak persoalan Indonesia yang membuat pemerintah nyaris tidak punya daya tawar saat bernegosiasi dengan pemerintah China dan perusahaan China Railway. Bahkan pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung di luar porsi China berasal dari pinjaman, yang juga berasal dari perbankan China (CBD).

Dengan konstelasi pembiayaan yang demikian, mau tak mau akhirnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kurang berhasil menjadi embrio transfer teknologi kereta cepat dari China ke Indonesia.

Baca juga: Beratnya Bisnis Kereta Cepat, di China Pun Merugi

Produsen kereta nasional, sebut saja misalnya BUMN Inka, tidak dilibatkan sebagai perusahaan yang akan menjalankan fungsi alih teknologi kereta cepat dari China Railway. Tidak ada puluhan atau ratusan karyawan atau insinyur di BUMN Inka yang belajar ke kantor pusat China Railway di China tentang bagaimana membuat kereta cepat.

Dengan lain perkataan, produsen kereta nasional tidak menuai prospek cerah di masa depan yang semestinya hal itu bisa diawali dengan proyek kereta cepat Jakarta- Bandung.

Renegosiasi dengan belajar dari Mahatir

Lantas, apakah Indonesia benar-benar tidak memiliki tenaga untuk bisa bernegosiasi dengan prospek hasil yang lebih baik ketimbang yang kita dapat hari ini? Menurut saya sangat bisa.

Pertama, pasar domestik Indonesia adalah modal negosiasi penting. Indonesia adalah pasar potensial kereta cepat di tahun-tahun mendatang mengingat teknologi kereta cepat masih benar-benar baru di sini.

Kedua, kapasitas dan kemampuan diplomasi para pemimpin nasional. Mahathir Muhamad berhasil merenegosiasi jalur kereta cepat Kuala Lumpur Singapore atau East Coast Rail Link (salah satu proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Malaysia).

China akhirnya setuju untuk mengurangi biaya konstruksi dan segala biaya penyelesaiannya, dari 15,81 miliar dolar AS turun menjadi 10,7 miliar dolar. Walhasil, proyek dimulai kembali pada Juli 2019.

Tak diragukan lagi, Mahathir memiliki jam terbang yang tinggi. Rasanya memang agak kurang sepadan jika dibandingkan dengan Joko Widodo (Jokowi) yang belum terlalu teruji dalam urusan diplomasi unilateral.

Dalam sebuah wawancara dengan New York Times, Mahathir dengan sangat piawai membingkai narasinya dalam konteks sejarah yang jauh lebih luas dan komparatif.

“China memahami betul bahwa China pernah berurusan dengan perjanjian yang tidak setara di masa lalu yang dipaksakan kepada China oleh kekuatan Barat (maksudnya pasca perang Candu dan Pemberontakan Beiping yang memojokan Dinasti Qing-pen). Jadi, China seharusnya bersimpati kepada kami. Mereka tahu kami tidak mampu membayar,” kata Mahathir.

Baca juga: Luhut Sebut Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bakal Rampung Sesuai Jadwal

Sebagaimana dibahas secara apik oleh David Shambaugh dalam buku terbarunya, Where Great Powers Meet. China and America in Southeast Asia (2021), narasi yang digaungkan Mahathir, menurut sebagian besar analis, berhasil beresonansi di Beijing, yang membuat posisi China atas proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Malaysia menjadi agak fleksible.

Pesan dari narasi tersebut nyatanya memang benar-benar sampai ke Xi Jinping dan diterima dengan sangat baik. Walaupun, baik secara prinsipil maupun secara teknis, proyek BRI di Malaysia tak berbeda dengan proyek BRI di Indonesia, terutama kereta cepat Jakarta-Bandung. Mulai dari pembiayaan, teknologi, barang modal, dan sebagian tenaga kerjanya berasal dari China.

Artinya, secara geoekonomi dan geopolitik, China berpeluang untuk tidak peduli dengan usulan renegosiasi dari Mahathir. Tapi risikonya China akan kehilangan Malayasia dalam proyek-proyek BRI lainya, jika China menolak renegosiasi, karena sebelumnya Mahathir memang berhasil mempertontonkan keberaniannya dalam menghentikan beberapa proyek BRI di Malaysia yang telah dimulai di era Najib Razak.

Nah, Jokowi tidak mesti menjadi presiden sepuluh tahun lagi untuk bisa menjadi seperti Mahathir karena pemikiran tersebut akan membuat Jokowi melanggar konstitusi alias harus berkuasa lebih dari dua periode.

Yang harus dilakukan Jokowi adalah menjadikan pengalaman Mahathir sebagai preseden dan referensi untuk dibawa bernegosiasi ulang dengan China, sembari menekankan pentingnya transfer teknologi kepada BUMN-BUMN yang terkait dengan produksi dan pengelolaan kereta cepat, ketimbang menelan mentah-mentah skema awal yang nyatanya semakin memberatkan Indonesia di hari ini dan di masa-masa mendatang.

Saya cukup yakin, dengan dukungan penuh dari Luhut Binsar Panjaitan (yang memang dekat dengan petinggi-petinggi China) dan Prabowo Subianto sebagai Menhan, beserta diplomat-diplomat ulung di Kementerian Luar Negeri, Jokowi akan mendapatkan ruang yang cukup untuk mengubah permainan, baik keringanan biaya proyek maupun soal aksentuasi transfer teknologi.

Pada ujungnya, proyek kereta cepat tidak saja menghasilkan kereta tercepat pertama di Indonesia, tapi juga menjadi proyek yang juga dikalkulasi secara cermat dan presisi, baik dalam konteks bisnis-komersial, ekonomi politik, sustainability, pertahanan keamanan, dan geoekonomi-geopolitik, demi kepentingan bangsa di masa mendatang.

Tetapi sayang, kesempatan renegosiasi tersebut tidak pernah dilirik oleh pemerintah alias terlewatkan begitu saja, meskipun akhirnya anggaran negara ikut menambal kekurangan dana proyek kereta cepat akibat miskalkulasi para pihak yang ada di dalam proyek tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com