Oleh : Yunita Christiana, Dr. P. Tommy Y. S. Suyasa, Psikolog, dan Dr. Raja Oloan Tumanggor, S.Ag.*
PRESIDEN Joko Widodo menyatakan bahwa tahun 2023, ekonomi Indonesia “gelap” karena terjadinya resesi.
Bahkan, menurut APINDO (2022), sebanyak 111 perusahaan di Indonesia sudah mengurangi jumlah karyawannya di sektor garmen/tekstil dan gelombang PHK terus terjadi hingga hari ini.
Untuk mengantisipasi ketidakpastian, perusahaan perlu melakukan evaluasi dan restrukturisasi.
Restrukturisasi merupakan cara perusahaan untuk menata ulang sumber daya dalam mencapai efektifitas dan efisiensi.
Restrukturisasi dapat meliputi budaya organisasi, struktur organisasi, kepemimpinan, sistem pengelolaan sumber daya manusia, sistem pengelolaan kinerja, teknologi, dan strategi organisasi.
Manfaat restrukturisasi adalah memperbaiki, mempertahankan, bahkan memaksimalkan kinerja perusahaan, khususnya di tengah krisis.
Restrukturisasi umumnya disertai pengurangan fungsi dalam organisasi (Kaswan, 2019) yang berdampak pada pengurangan jumlah karyawan (layoff). Perusahaan dengan terpaksa melakukan kebijakan layoff.
Sebenarnya, dampak restrukturisasi bukan saja dirasakan pegawai yang terkena kebijakan layoff, tetapi juga pegawai yang tetap dipertahankan.
Pegawai yang dipertahankan atau survivor mengalami penambahan tugas dan wewenang baru, limpahan dari rekan karyawan yang terdampak layoff. Para survivor dituntut menyelesaikan lebih banyak tugas.
Menurut American Institute of Stress (2019), sebanyak 46 persen pekerja mengatakan bahwa beban kerja yang bertambah berpotensi memicu stres hingga pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Sekitar 26 persen menyatakan, mereka merasa kelelahan akibat tuntutan beban kerja yang meningkat.
Kondisi yang dialami survivor, yaitu peningkatan beban kerja (job demand), dapat menurunkan keasyikan bekerja (work engagement), dan lebih lanjut dapat menimbulkan niat ingin keluar dari perusahaan (Pennbrant & Daderman, 2019).
Kondisi ini akan berujung pada menurunnya antusias dalam bekerja, menurunnya kinerja, meningkatnya niat ingin keluar dari perusahaan, dan akhirnya justru semakin menurunkan kinerja organisasi.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, manajemen perusahaan perlu memperhatikan bagaimana cara mempertahankan work engagement dari para survivor.