Untuk mengimbanginya, Bank Indonesia (BI) merespons dengan kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebanyak 200 basis poin atau 2 persen sepanjang 2022 ini, dari sebelumnya 3,5 persen jadi 5,5 persen pada Desember 2022.
Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada perlambatan ekonomi tahun 2023. OECD memperkiran pertumbuhan ekonomi global akan menurun ke 2,2 persen, setelah sebelumnya IMF memperkirakan 2,7 persen.
Ketidakpastian tersebut menjadi ancaman nyata bagi perkembangan ekonomi Indonesia yang akan memengaruhi kinerja ekspor, investasi dan bisnis nasional. Oleh karenanya pemerintah nekat menerbitkan Perppu.
Perlu dicatat bahwa ancaman yang dikhawatirkan pemerintah masih sebatas asumsi. Pemerintah terkesan inkonsisten dalam menerjemahkan kondisi perekonomian kita.
Di berbagai seminar outlook perekonomian 2023, hampir semua institusi justru menaruh optimisme pada progres pemulihan ekonomi kita. Tak tampak tanda-tanda bahaya yang perlu ditakutkan secara berlebihan.
Lantas, mengapa tiba-tiba pemerintah menerbitkan Perppu yang notabene dikeluarkan hanya saat genting saja? Maka, timbul pertanyaan, genting untuk siapa? Sudahkan Perppu melewati kajian yang matang?
Meski kita tahu, penerbitan Perppu diperpolehkan tanpa kajian dan naksah akademik. Namun, bukan berarti pemerintah lantas memvonis kegentingan tanpa riset yang matang.
Tentu sebenarnya masih banyak langkah antisipatif lainnya tanpa harus buru-buru menerbitkan peraturan baru. Dikhawatirkan, aturan baru justru akan kontraproduktif dan menimbulkan masalah-masalah baru di ekspektasi.
Salah satu pasal substantif yang menarik dikaji terkait cuti. Saya mencoba memahami dan menerjemahkan pernyataan salah satu pejabat Kementerian Kemenakertrans yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok dengan aturan sebelumnya.
Jika memang tidak ada yang mencolok, mengapa harus diubah dengan memanfaatkan subjektivitas kegentingan?
Dalam Perppu tersebut menyebutkan, jika dalam sepekan ada 7 hari, dan pihak perusahaan menetapkan waktu kerja 6 hari bagi karyawannya, maka waktu libur atau istirahatnya adalah 1 hari.
Jika waktu kerjanya ditetapkan 5 hari, maka waktu liburnya otomatis tetap menjadi 2 hari. Begitu pula bila waktu kerja yang diberlakukan 5 hari, maka waktu libur atau istirahatnya 2 hari.
Begitu seterusnya, kalau terhadap pekerja diberlakukan hanya 4 hari kerja, maka tentunya waktu istirahatnya menjadi 3 hari.
Permasalahannya adalah durasi kerja di Indonesia masih didominasi 6 atau 5 hari dalam sepekan. Masih jarang ditemukan yang waktu kerja berdurasi 4 hari atau kurang dari dalam sepekan.
Terlepas apapun alasan di balik penerbitan Perppu, yang perlu digaris bawahi adalah pengurangan hak istirahat dan cuti akan menciptakan produktivitas semu, seperti presenteeism.