Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewan Energi Nasional Ungkap Estimasi Biaya Bangun Pabrik Modul Surya

Kompas.com - 23/02/2023, 15:15 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan berdasarkan feasibility study (FS/analisa teknis) dibutuhkan Rp 4 triliun untuk membangun pabrik pengolahan pasir silika menjadi modul surya.

"Kita sudah adakan FS. Kita butuh dana Rp 4 triliun untuk untuk bangun pabrik modul surya. Selama ini kita hanya instalasi, assembling saja. Kita belum punya pabrik," kata Djoko di Jakarta, Kamis (23/2/2023).

Djoko mengatakan beberapa komponen untuk mendukung PLTS masih impor. Kabar baiknya, beberapa perusahaan di Tanah Air menyatakan minatnya untuk berinvestasi pada pembangunan pabrik modul surya.

Baca juga: Menteri ESDM: Subsidi Kendaraan Listrik mulai Berlaku Maret 2023

Djoko menilai ketertarikan investor tersebut lebih baik agar pembiayaan pabrik modul surya tidak harus menggunakan utang.

"Itu mau ditindak lanjuti, dan daripada meminjam uang dari bank. Jika mereka punya (dana), dari mereka saja. Tidak pinjam dari bank," ujarnya.

Selama ini, pasir silika banyak dihasilkan di Indonesia dengan mayoritas berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Karena tidak adanya pabrik untuk pengolahan pasir silika menjadi modul surya, sehingga pasir silika dijadikan komoditi ekspor.

"Karena pabriknya belum ada. Kalau nanti pabriknya sudah ada, kita akan pakai di dalam negeri," kata dia.

Baca juga: Tak Berlaku Untuk Orang Kaya, Ini Syarat Penerima Subsidi Motor Listrik


"Sementara ini belum ada larangan ekspor, dan kalau kita belum ada pabriknya, kita enggak bisa melarang kan. Kecuali kita sudah membutuhkan banget dan pabrik kita cukup besar, bisa aja. Tapi kan sekarag belum ada," tambahnya.

Djoko mengungkapkan, minat beberapa perusahaan untuk berkontribusi tersebut lantaran ada tawaran dari AS untuk mengekspor pasir silika dari Indonesia.

Djoko berharap, harga modul surya yang diproduksi di Tanah Air tidak lebih mahal dari China. Selain itu juga, untuk meningkatkan nilai tambah, perlu adanya aturan wajib membeli produk dalam negeri, sehingga pembangunan pabrik modul surya bisa dimanfaatkan sebaik mungkin.

"Masalahnya, kita bikin pabrik, tapi nanti harganya lebih mahal dari China, mereka akan impor lagi. Karena untungnya dari solar panel itu tipis ya," kata Djoko.

Baca juga: Pasang Sistem Panel Surya Kini Bisa lewat Aplikasi

"Sehingga para pemenang tender untuk pemasangan solar panel ini mereka lebih senang impor. Tapi kalau pemerintah memproteksi, wajib membeli produk dalam negeri, itu akan membantu," lanjutnya.

Adapun 4 perusahaan yang sudah komit untuk membangun pabrik pengolahan pasir silika menjadi modul surya, mencakup 3 BUMN dan 1 swasta. PT LEN akan bekerja sama dengan Indonesian Power, PT PLN, dan Pertamina. Dari swasta ada PT Agra Surya Energy.

"Peruaahan yang sudah, PT LEN, PT PLN, dan tinggal ajak Pertamina. Satu lagi, dari swasta, PT Agra Surya Energy. Kita sudah MoU, dan ini dalam proses FS, kita akan tunggu ground brekingnya saja," kata dia.

Baca juga: Kementerian ESDM: Indonesia Miliki Potensi EBT 3.686 GW untuk Modal Transisi Energi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Bulog Diminta Lebih Optimal dalam Menyerap Gabah Petani

Whats New
Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Empat Emiten Bank Ini Bayar Dividen pada Pekan Depan

Whats New
[POPULER MONEY] Sri Mulyani 'Ramal' Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

[POPULER MONEY] Sri Mulyani "Ramal" Ekonomi RI Masih Positif | Genset Mati, Penumpang Argo Lawu Dapat Kompensasi 50 Persen Harga Tiket

Whats New
Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Ketahui, Pentingnya Memiliki Asuransi Kendaraan di Tengah Risiko Kecelakaan

Spend Smart
Perlunya Mitigasi Saat Rupiah 'Undervalued'

Perlunya Mitigasi Saat Rupiah "Undervalued"

Whats New
Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Ramai Alat Belajar Siswa Tunanetra dari Luar Negeri Tertahan, Bea Cukai Beri Tanggapan

Whats New
Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Sri Mulyani Jawab Viral Kasus Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta

Whats New
Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Sri Mulyani Jelaskan Duduk Perkara Alat Belajar Tunanetra Milik SLB yang Ditahan Bea Cukai

Whats New
Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Terproteksi? Ini Pengertian, Karakteristik, dan Risikonya

Work Smart
Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Cara Transfer BNI ke BRI lewat ATM dan Mobile Banking

Spend Smart
Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Suku Bunga Acuan Naik, Apa Dampaknya ke Industri Multifinance?

Whats New
Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Aturan Impor Produk Elektronik Dinilai Bisa Perkuat Industri Dalam Negeri

Whats New
Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Cara Beli Pulsa melalui myBCA

Spend Smart
Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Lima Emiten yang Akan Bayar Dividen Pekan Depan

Whats New
Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Pemerintah Dinilai Perlu Buat Formula Baru Kenaikan Tarif Cukai Rokok

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com