Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Ditunggu "Pertobatan" Massal Pegawai Pajak

Kompas.com - 27/02/2023, 19:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Jangan lupa tunaikan kewajiban bayar pajak ! Ingat, belum semua keluarga pegawai Pajak memiliki Rubicon dan Moge.

DUA larik kalimat itu terus bergema hingga kini, sejak kasus kriminal yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (20) terhadap D (17) terkuak ke publik karena viral. Menjadi viral bukan karena prestasi akademiknya, justru kekerasan tanpa batas kemanusiaan itu dilakukan Mario hanya gara-gara aduan pacar Mario, yaitu A (15).

Lebih viral lagi, kemewahan yang kerap ditampilkan dan disombongkan Mario itu berasal dari harta ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II yang kini jabatannya telah dicopot Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Baca juga: Mario Dandy, Anak Rafael Alun, Pernah Ditegur Warga karena Ngebut Pakai Moge di Jalan Kampung Yogyakarta

Sebelum ulah Mario berbuah petaka, pecatan mahasiswa Universitas Prasetya Mulia itu kerap memamerkan motor gede (moge) Harley Davidson, mobil Lexus, dan mobil Jeep Wrangler Rubicon. Tiga “mainan” Mario itu semuanya berharga mahal, yang hanya bisa “dimimpikan” oleh pemuda seusianya atau dosen bergaji kecil seperti saya ini.

Andai Rafael memperoleh hartanya dari berjualan cilok di pagi hari, siang ngojek online dan malamnya berjualan angkringan tentu publik tidak akan mempermasalahkannya. Seperti yang dilaporkan sendiri oleh Rafael di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), harta dan asetnya “cuma” Rp 56 miliar.

Kekayaan yang dimilikinya nyaris menyamai Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang pernah berkarir moncer di World Bank dan beberapa kali menjadi pembantu presiden. Ketajiran Rafael hampir empat kali lipat dari harta yang dipunyai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Setyo Utomo.

Dengan jabatan dan golongan kepegawaian yang dimiliki Rafael – seperti dikemukakan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Profesor Mahfud MD – sangat tidak sesuai harta yang diperolehnya dengan profiling Rafael yang baru menapak golongan III di kepangkatan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.

PPATK secara jelas menotifikasi temuannya dengan menyebut kekayaan Rafael Alun Trisambodo tidak sesuai dengan profil yang bersangkutan dan menggunakan pihak-pihak yang patut diduga sebagai nominee atau perantara (Kompas.com, 24/02/2023).

Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan  Mahfud MD menyebutkan bahwa sejak tahun 2012 sebenarnya PPATK telah menginformasikan kepada KPK soal harta yang mencurigakan yang dimiliki Rafael Alun Trisambodo. Kini, Mahfud minta dengan tegas dan jangan pakai lama agar kasus harta “ajaib” yang dipunyai Rafael ditelisik KPK (Kompas.com, 24/02/2023).

Publik yang kadung jengah dan muak dengan perilaku mafia pajak dengan pelibatan “orang dalam” di Direktorat Jenderal Pajak selama ini, seakan memiliki energi untuk dengan cepat memvonis Rafael adalah salah satu dari mafia pajak.

Publik masih belum lupa dengan sepak terjang pegawai Direktorat Jenderal Pajak “tidak teladan” seperti Gayus Tambunan yang menilep uang setoran pajak dari wajib pajak yang diajak kongkalingkong. Suap yang dikoleksi Gayus mencapai Rp 119 miliar serta melakukan pencucian uang yang didapatnya dari cara-cara kotor.

Belum lagi kreativitas yang dilakukan bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII, Bahasyim Assifie. Uang Rp 1 miliar mudah didapatkannya dan terlacak melakukan pencucian uang untuk menyamarkan perolehan kekayaan haramnya.

Pegawai Direktorak Jenderal Pajak yang lain, Dhana Widyatmika, bahkan melakukan pemerasan kepada pembayar pajak. Dana yang ketahuan “diembatnya” berjumlah Rp 2,5 miliar tetapi juga terbukti melakukan pencucian uang.

Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji, malah kelewatan ulahnya. Tiga perusahaan kakap, di antaranya milik pengusaha “kakap” batu bara asal Batulicin, Kalimantan Selatan, Haji Isyam, diakali kewajiban pajaknya. Nilai suapnya mencapai Rp 50 miliar.

Baca juga: Sosiolog UGM: Gaya Hidup Mewah Pegawai Ditjen Pajak Bagaikan Gunung Es

Wawan Ridwan yang bertugas menjadi pemeriksa pajak madya di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bersekongkol dengan anaknya, Muhammad Farsha Kautsar, untuk mengaburkan uang tilepan dari wajib pajak. Ratusan juta di antaranya mengalir ke wanita simpanan Farsha selain miliaran rupiah ditandaskan untuk pembelian mobil dan jam tangan mewah (Tempo.co, 23 Februari 2023).

Tampang Mario Dandy Satriyo (20) yang menganiaya D, anak dari pengurus GP Ansor.Kolase TribunJateng Tampang Mario Dandy Satriyo (20) yang menganiaya D, anak dari pengurus GP Ansor.
Spill Over
Media Sosial

Ulah tengil Mario yang berujung kepada terkuaknya harta jumbo yang dimiliki sang ayah, dipersepsi negatif oleh publik. Kasus yang menimpa Rafael Alun Trisambodo hanyalah ulangan kasus-kasus yang melibatkan pegawai pajak sebelumnya yang terus bermunculan, dikecam, menghilang sebentar, dan muncul kembali lewat pelakon-pelakon lain.

Media sosial terus menggaungkan perilaku “sultan” keluarga pegawai pajak, sementara rakyat ditekan habis untuk taat membayar pajak demi kelangsungan pembangunan. Ketika rakyat menggugat kelangsungan pembangunan yang mana yang disasar maka kini aktivis media sosial menemukan bahan pembenar. Bahwa kelangsungan pembangunan tersebut ternyata untuk keluarga pegawai pajak.

Celoteh, umpatan, dan kalimat-kalimat sarkasme serta satir kini terus bergema di media sosial. Efek spill over media sosial begitu dasyatnya dan men-judge keluarga besar Direktorat Jenderal Pajak adalah sarang mafia yang berseragam dengan tunggangan Moge dan Rubicon.

James Druckman, pakar politik dari Universitas Minnesota, Amerika Serikat, yang menjadi motor teori efek spill over menyebut bahwa paparan dan limpahan informasi yang diterima khalayak akan memotivasi mereka untuk mengambil sikap dan tindakan. Suatu konten di media sosial secara tidak langsung begitu memengaruhi persepsi khalayak.

Saya khawatir apa yang bergema di media sosial dan terus direpetisi bahkan tanpa komando sekalipun masif menyebar ke berbagai linimasa hingga sampai ke obrolan di warung-warung kopi, begitu memengaruhi kesadaran publik untuk membayar pajak. Apa yang dikhawatirkan sosiolog Manuel Castells yang juga mantan Menteri Perguruan Tinggi Spanyol bahwa obrolan, gosip, pembicaraan yang terjadi di masyarakat jaringan menjadi penanda bahwa masyarakat kita terhubung satu dengan yang lainnya dengan begitu mudah.

Baca juga: Klub Moge Dirjen Pajak Jadi Sorotan, Berapa Harga Motornya?

Selain karena tersusun secara struktur sosial, masyarakat juga merupakan manifestasi perubahan zaman, yakni salah satunya karena transformasi teknologi. Masyarakat jaringan atau network society yang dipopulerkan Manuel Castells mencirikan kemajuan teknologi terutama informasi tanpa batas mempermudah kehidupan manusia ke arah yang lebih berdaya.

Sumber kekuatan besar terutama yang berasal dari suara publik yang tercermin dari media sosial serta pemberitaan media yang begitu masif akan sangat memengaruhi pendapat publik. Jika sudah termobilisasikan hak-hak publik melalui gerakan sosial, maka kasus-kasus yang menjerat pegawai Ditjen Pajak berpotensi menimbulkan turbulensi komunikasi yang begitu dasyat : crisis of public relations.

Publik memiliki rasa distrust terhadap Direktorat Jenderal Pajak. Lebih parahnya lagi, publik ogah bayar pajak selama orang-orang seperti Rafael Alun Trisambodo bercokol di dalamnya dan keluarga-keluarga pegawai Pajak masih mempertontonkan “ketengilan” dalam unjuk gigi harta berlimpah yang dikoleksinya.

Rumah pegawai Pajak golongan III A, Gayus Tambunan di Gading Park View Bok ZE 6 No 1, Jakarta Utara, Kamis (25/3/2010). Nama Gayus mencuat setelah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji menyebutnya terlibat dalam rekayasa pajak sebesar Rp 25 Milliar. KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN Rumah pegawai Pajak golongan III A, Gayus Tambunan di Gading Park View Bok ZE 6 No 1, Jakarta Utara, Kamis (25/3/2010). Nama Gayus mencuat setelah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji menyebutnya terlibat dalam rekayasa pajak sebesar Rp 25 Milliar.
Bubarkan Klub Motor Orang Pajak

Entah pegawai-pegawai Ditjen Pajak atau bahkan pimpinannya, Dirjen Pajak Setyo Utomo, memang sudah “putus” urat syaraf malunya atau mereka tidak paham dengan crisis of public relations sehingga jejak digital klub motor di media sosial masih terlacak. Efek spill over di media sosial begitu berjalan dengan sempurna sehingga foto-foto lama Dirjen Pajak, Setyo Utomo, mengendarai Moge bersama jajarannya tersebar di media sosial.

Publik semakin muak dan membenarkan tuduhan miring kelakuan orang-orang Ditjen Pajak. Publik paham dengan tunjangan dan gaji yang dimiliki seorang Ditjen Pajak bisa beli Moge dengan halal.

Akan tetapi kewajaran dari kacamata orang Ditjen Pajak tentu tidak linear dengan kacamata publik yang kadung “membenci” perilaku kemewahan pegawai Ditjen Pajak selama ini. Kacamata publik terlanjur buram melihat perilaku pegawai-pegawai Ditjen Pajak seperti Rafael Alun Trisambodo, Gayus Tambunan, Bahasyim Asshifie, Dhana Widyatmika, Angin Prayitno Aji, Wawan Ridwan, atau pegawai-pegawai lain yang belum ketahuan belangnya.

Pembubaran klub motor pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang juga diikuti Dirjen Pajak Setyo Utomo, yang Belasting Rijder, oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani per 27 Ferbruari 2023 meruipakan langkah tepat sekaligus “tamparan” untuk Dirjen Pajak. Klub motor Belasting Rijder yang ada di hampir setiap kantor pajak di seluruh penjuru Tanah Air seakan menjadi etalase kemewahan pegawai Ditjen Pajak kepada publik.

Secara kepantasan dan kepatutan, sepertinya sangat tidak pantas keberadaan klub motor ini dipunggawai para pegawai pajak.

Crisis of Public Relations di Ditjen Pajak

Saya jadi teringat dengan pengalaman saya saat dipercaya menjadi staf ahli bidang komunikasi sebuah institusi besar usai kepalanya dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus rasuah dan asmara terlarang. Sebelum kasus sang Kepala terkuak, para pegawainya seakan berlomba memasang foto di identitas gadget dengan kemewahan harta yang dimilikinya.

Kepala dan para anak buannya selama itu sudah terbiasa dengan “main -main” dan pat gulipat. Kepemilikian Moge atau Rubicon dipandang sebagai puncak pencapaian karier yang harus diketahui publik.

Usai saya nyatakan institusi tersebut dalam fase crisis of public relations, seluruh pegawainya sontak mengganti profile picture-nya dengan latar belakang yang begitu agamis. Padahal penanganan crisis of public relations tidak semata pada penampilan luar tetapi kepada membangun kesadaran bahwa bekerja itu harus jujur, kapabel dan transparan.

Crisis of public relations mengindikasikan reputasi Direktorat Jenderal Pajak sedang ternoda dan terjadinya distrust yang luar biasa. Publik saat ini mudah paham dengan tata kelola Direktorat Jenderal Pajak yang amburadul akibat dunia digital yang sangat transparan dan sangat terhubung.

Dampak dari crisis of public relations di Direktorat Jenderal Pajak sejatinya dapat menghancurkan reputasi Kementerian Keuangan yang telah susah payah dibangun Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani selama dua periode kepemimpinan. Publik dengan mudah menyematkan pernyataan revolusi mental yang dicanangkan Jokowi ternyata benar-benar “mental” di kalangan Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam kondisi bangsa yang tengah sempoyongan usai pandemi, harusnya pegawai-pegawai di Direktorat Jenderal Pajak dengan dipelopori Dirjen Pajak menjadi orang tua asuh dari gerakan orang tua asuh.

Keluarga-keluarga pegawai pajak yang bisa bersyukur atas kehidupannya yang makmur harusnya terlibat dalam usaha pengentasan anak-anak stunting. Minimal Dirjen Pajak membantu 100 keluarga stunting, pegawai golongan II mengasuh 25 anak stunting dan golongan III membantu 10 anak stunting.

Andai semua pegawai pajak menjadi penyelamat pengentasan stunting, saya yakin stunting di Tanah Air akan menurun sesuai target Presiden Joko Widodo di 2024, yakni di angka 14 persen.

Saya belum melihat remaja-remaja seperti Mario Dendy Satriyo atau Muhammad Farsha Kautsar di keluarga Direktorat Pajak menjadi aktivis lingkungan hidup seperti kelompok Pandawa yang begitu “keren” membersihkan selokan air yang kumuh.

Adakah kelompok ibu-ibu Pejabat Direktorat Jenderal Pajak menjadi donatur tetap panti-panti asuhan? Kita butuh pertobatan massal pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Tobat bahwa mereka tidak mensyukuri besarnya tunjangan dan keistimewaan yang tidak dimiliki pegawai-pegawai yang lain.

Tobat karena harta yang dimilikinya adalah bagian dari haknya orang lain. Atau jangan-jangan mereka sudah bertobat dan saya masih terlelap dengan mimpi indah memiliki Rubicon dan Moge.

Aaah sudahlah..........

“Betapa aku cemburu pada orang yang pandai menyembunyikan kebaikannya. Dunia tak melihatnya, namun surga merindukannya.” – Uwais Al-Qarni

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com