Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Siaga di Tengah Risiko "Tech Winter"

Kompas.com - 26/03/2023, 08:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK pelak, dalam tempo seminggu pada awal Maret 2023, otoritas resolusi perbankan Amerika Serikat (AS) Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), mengambil alih tiga bank gagal.

Bank gagal tersebut adalah Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank (SB), dan Silvergate Bank yang dinyatakan kolaps setelah gagal meningkatkan modalnya.

Dus, bailout jumbo dari The Fed dan FDIC yang diberikan pada bank-bank gagal ini menuai anomali. Dengan mengguyur Rp 4.600 triliun untuk bailout tiga bank yang bangkrut di AS, sama halnya ini kebijakan uang longgar (Quantitavie Easing/QE).

Supply uang akan kembali mengalir ke pasar. Kebijakan QE ini justru mengaburkan kebijakan uang ketat (Quantitative tightening/QT) selama 4 bulan belakangan dalam menjangkar inflasi.

Padahal inflation targeting adalah mandat utama bank sentral. Jadi inflasi yang masih jauh dari sasaran FED 2 persen, sepertinya memperpanjang ketidakpastian global.

Memang untuk Indonesia, stress test pada ketahanan perbankan masih baik, namun sepertinya kebijakan The Fed yang makin kuat mengarah pada higher for longer, menjadi momok krisis global yg menakutkan!

Dan terbaru, pascadigelar FOMC (Federal Open Market Commite), The Fed kembali mengerek Fed Fund Rate (FFR) 0,25 bps menjadi 4,75 persen.

Kenaikan FFR ini bak signal yang tak jelas, antara menjangkar inflasi atau memitigasi sistem keuangan AS yang kian getas.

Signal temaram FFR juga dibaca pelaku pasar sebagai kecenderungan jinak-jinak merpati The Fed. Burung elang (hawk) moneter The Fed, mungkin tak segarang sebelumnya dalam mengerek FFR.

Inflasi AS yang turun menjadi 6 persen dari bulan sebelumnya 6,4 persen berdasarkan rilis U.S. Bureau of Labor Statistics pada 18 Maret 2023, menggambarkan jalur transmisi moneter mampu mengendalikan laju inflasi. Meskipun masih jauh dari sasaran 2 persen.

Makin rapuhnya stabilitas sistem keuangan AS, membuat arah suku bunga kebijakan The Fed diramal melandai di semester II 2023.

Winter Startup

Kolapsnya SVB juga memberi signal winter is coming bagi ekosistem usaha rintisan (Startup). Pangsa pasar SVB adalah startup dan ventura capital.

Segmen ini memang tengah mengalami tekanan, pascaera bakar uang (burning money) bersamaan dengan berkah likuiditas murah usai, seiring The Fed yang berjibaku dengan inflasi yang pernah pernah mencapai level tertinggi hingga di atas 9 persen sejak awal 2021 dengan kebijakan tightening policy.

Aset di ceruk startup yang menggelembung (bubble assets) selama pandemi Covid-19, akibat pembatasan mobilitas, telah mengerek keuntungan produk layanan jasa daring di berbagai lini bisnis.

Kombinasi likuiditas murah dan dan kenaikan ekuitas selama pandemi yang berimbas pada lonjakan nilai aset, tak mengalami diversifikasi atau peragaman melalui penempatan investasi.

Begitu era kebijakan uang longgar usai dan memasuki rezim suku bunga tinggi, seturut penggunakan jasa layanan daring yang menyusut (pascapandemi), balon asset di lini bisnis ini pun meledak. Di tengarai, fenomen ini serupa dengan dotcom bubble tahun 2000-an.

Bangkrutnya tiga bank di AS adalah puncak dari startup bubble. Dan contagion effect dari startup bubble ini tentu belum berakhir. Bahkan menambah tebal kabut ketidakpastian.

Alih-alih menemukan jalan keluar, The Fed justru terjebak dalam labirin pengetatan moneter dan rapuhnya sistem keuangan AS.

Kebijakan suku bunga The Fed adalah dalam rangka menjinakkan inflasi AS yang tak kunjung mencapai sasaran 2 persen.

Dengan inflasi AS saat ini yang masih 6 persen, menggambarkan The Fed masih trade off antara politik diskonto dalam menjangkar sasaran inflasi dan menjaga kinerja ekonomi negeri besutan Joe Biden tersebut.

Pada Selasa 15 Maret 2023, U.S. Bureau of Labor Statistics merilis inflasi bulanan AS naik 0,4 persen. Sementara secara tahunan inflasi AS masih bertengger di 6 persen atau turun dari sebelumnya 6,4 persen.

Torehan inflasi IHK/ICP demikian, masih membuka ruang bagi The Fed untuk mengencangkan sabuk moneternya.

Dalam ekonomi makro, kita mengenal model Philips, di mana ada output PDB yang dikorban, sebagai trade off antara pilihan menurunkan inflasi dengan kebijakan suku bunga. Konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut yang terjadi dalam dinamika ekonomi makro AS saat ini.

Dus, dengan menaikan suku bunga (demi menjangkar inflasi), memiliki efek gerus yang nyata pada ekonomi AS. Kolapsnya SVB dan SB, adalah salah satu di antara risiko transmisi kebijakan The Fed.

Alat likuid perbankan pada aset sekuritas berupa saham dan obligasi di lini Fintech, tengah memasuki masa tekanan, seiring sentimen suku bunga The Fed.

Sejak bank sentral AS ini agresif mengerek suku bunga kebijakan, sumber likuiditas murah melalui pinjaman untuk memperkuat struktur modal perlahan-lahan tak lagi dinikmati sektor keuangan AS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com