Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Siaga di Tengah Risiko "Tech Winter"

Kompas.com - 26/03/2023, 08:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saham dan obligasi berbasis startup/fintech beringsut tergerus. Dan segmen ini merupakan mayoritas pangsa SV bank.

Untuk memperkuat likuiditas, startup pemula yang merupakan pangsa mayoritas SVB melakukan rush money/bank run. Di saat yang sama, SVB mengalami kesulitan menghimpun dana publik akibat aset sekuritas tersebut dalam tekanan ekspektasi imbal hasil tinggi.

Langkah-langkah yang dilakukan dengan menjual kepemilikan saham dan obligasi pun mengalami kerugian akibat tergerusnya nilai aset sekuritas tersebut.

Setali tiga uang dengan obligasi tenor jangka panjang yang ikut tertekan akibat beban yield, seiring rezim suku bunga tinggi.

Pada 8 Maret 2023, SVB menjual banyak surat berharganya secara jual rugi (saham dan obligasi) untuk menopang likuiditasnya.

Pilihan jual rugi ini memantik kepanikan di antara perusahaan modal ventura/VC utama, yang berakibat pada menarik uang mereka dari bank. Alhasil, inilah yang menyebabkan bank dengan total aset tahun 2022 sebesar 209 miliar dollar AS diumumkan bangkrut.

Nasib serupa dialami SB. Diumumkan bangkrut oleh otoritas setempat, setelah gagal mengerek modalnya.

Bank dengan pangsa di industri kripto ini mengalami kebangkrutan, setelah adanya gejolak terhadap pasar kripto, sepanjang 2022, akibat impak kenaikan suku bunga The Fed dan kejatuhan bursa kripto terbesar di dunia pada November 2022.

Kondisi ini menyulut sentimen negatif di seluruh ekosistem aset digital dan membuat pelaku industri beralih ke posisi risk off di seluruh platform perdagangan aset digital.

Dengan demikian, aset keuangan di ceruk ini rontok dan berdampak pada bangkrutnya SB. Kekhawatiran akan kondisi yang lebih parah membuat deposan melakukan bank run untuk memitigasi kerugian dan mempertebal likuiditasnya.

Apalagi aset digital kripto sebagai sebuah komoditas yang diperdagangkan, tak ada underlying asset bersifat tangible yang mendasarinya.

Valuasi asset kripto, hanya berdasarkan pada supply and demand, sehingga rentan mengalami fluktuasi. Dengan demikian, begitu nilai aset kripto tergerus akibat kenaikan suku bunga The Fed, tekanan pelepasan aset kripto secara masif dan bank run pun terjadi.

Seberapa besar dampaknya ke Indonesia?

Penulis sendiri memahami, bahwa dampak bank gagal di AS terhadap Indonesia masih terbatas. Hal tersebut dilihat dari perbedaan struktur pangsa pasar kedua bank dimaksud dengan bank di Indonesia pada umumnya.

Struktur aset/modal SVB dan SB bertumpu pada start-up, capital ventura dan industri kripto.

Sementara mayoritas perbankan di RI struktur aset/modalnya bertumpu pada sektor riil, investasi dan konsumsi. Kedua sektor ini dalam performa pertumbuhan yang baik pascapandemi Covid-19.

Financing networking antara SVB dengan startup dan modal ventura di RI juga nyaris tak terlihat, karena mayoritas startup Indonesia cenderung ke modal ventura domestik dan Singapura.

Tentu saja krisis yang terjadi pada SVB dengan total aset 209 miliar dollar AS dan total deposito 175,4 miliar dollar AS tersebut membuat kita flashback ke krisis finansial tahun 2008.

Krisis keuangan 2008 tersebut bermula dari petaka subprime mortgage yang berdampak pada rontoknya bursa saham di Wall Street, termasuk bangkrutnya perusahaan keuangan kelas kakap seperti Lehman Breathers hingga menimbulkan krisis global.

Yang terjadi pada subprime mortgage skalanya luas, karena berkenaan dengan kredit hipotek bermasalah yang disekuritisasikan dalam berbagai bentuk financial engineering yang kompleks dengan nilai di atas 500 miliar dollar AS dan mencapai 60 persen dari seluruh outstanding kredit perumahan.

Dengan demikian, ketika terjadi gelombang default, dampaknya sistemik terhadap perekonomian AS dan global.

Sementara lingkup pangsa SVB dan SB hanya pada kerja sama dengan perusahaan startup di wilayah Silicon Valley, sebagaimana pernyataan peraih nobel ekonomi Paul Krugman di akun twitter-nya, bahwa petaka SVB sebagai Schmoozing and Vibes Bank.

Dengan dampak risiko yang terbatas itulah, bangkrutan SVB dan SB dinilai tidak sama dengan krisis 2008.

Dari dalam Indonesia, likuiditas sistem perbankan kita dalam kondisi yang masih resilien. Hal tersebut terlihat dari Coverage Liquidity Ratio (CLR) di atas 100 (dalam threshold sehat).

Berdasarkan data OJK, CLR Indonesia saat ini 234 persen. Lebih tinggi dari AS saat ini dengan CLR 148 persen, Jepang 135 persen, China 132 persen dan Eropa 123 persen.

Dengan rasio likuiditas yang sehat tersebut, sistem perbankan Indonesia cenderung resilien. Berbagai stress test terhadap indikator likuditas perbankan domestik pun masih dalam posisi sehat.

Namun tak dipungkiri, efek bangkrutnya SVB dan SB, memantik sikap risk off investor di pasar modal. Rata-rata bursa saham global rontok di zona merah sebagai bentuk reaksi terhadap kebangkrutan dua bank kakap di AS tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com