Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Kelam Bea Cukai, Tenar Jadi Sarang Pungli dan Dibekukan Soeharto

Kompas.com - Diperbarui 27/03/2023, 12:11 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Kinerja Ditjen Bea Cukai tengah menjadi bulan-bulanan kritik publik. Terbaru, istitusi ini disorot karena terbongkarnya dugaan praktik korupsi terkait pungutan IMEI handphone dari luar negeri.

Sebelumnya, Bea Cukai juga diributkan dengan para pejabat beserta keluarganya yang gemar pamer harta, perilaku tak menyenangkan saat pemeriksaan bandara, hingga keluhan di media sosial yang dibalas dengan makian babu.

Awal mula dugaan praktik kongkalikong IMEI telepon selular impor ini bermula dari sebuah surat terbuka dari ASN muda Bea Cukai yang resah dengan para oknum nakal yang mencoreng tempatnya bekerja.

Surat terbuka itu kemudian viral setelah akun Twitter dengan nama @PartaiSocmed mempublikasikannya. Ditjen Bea Cukai juga belakangan mengakui ada prosedur yang salah dalam pungutan IMEI dan sudah memberikan sanksi kepada para pegawainya yang terlibat.

Jahatnya lagi, dugaan korupsi berjamaah ini disebut-sebut melibatkan pegawai Bea Cukai dari tingkat menengah, hingga pejabat Eselon III.

Baca juga: Gaji Tinggi, Tetap Korupsi, Ironi Remunerisasi di Bea Cukai

Alasannya sederhana, sama-sama tahu dan saling menutupi demi menjaga nama baik para pihak yang terlibat dan instansi Bea Cukai itu sendiri.

Bea Cukai dibekukan Soeharto

Dikutip dari artikel yang ditulis di laman resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, institusi Bea Cukai pernah dibekukan pemerintah Orde Baru karena menjadi sarang korupsi yang sedemikian parah.

Presiden Soeharto kala itu sangat gerah dengan praktik korupsi yang sangat marak di Bea Cukai. Meski tak sampai dibubarkan, Soeharto memutuskan membekukan institusi ini.

Di era Orba, praktik korupsi, terutama pungutan liar (pungli), begitu lekat dengan pegawai Bea Cukai. Mereka melakukan kongkalikong dengan pengusaha ekspor impor.

Banyak pengusaha menyuap pegawai Bea Cukai untuk memuluskan penyelundupan. Praktik ini kerap disebut dengan "Uang Damai".

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.

Baca juga: Seperti Ini Modus Pungli PNS Bea Cukai yang Terbongkar di Kualanamu

Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.

“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.

Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest (kepentingan pribadi) yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup.

Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com