Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Dedolarisasi

Kompas.com - 18/06/2023, 10:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA konferensi Bretton Wood tahun 1944-1945, John Maynard Keynes yang mewakili Inggris berdebat panjang dengan perwakilan Amerika, Harry Dexter White, yang juga seorang Keynesian, tentang sistem pembayaran internasional.

Keynes mengajukan mata uang baru sebagai pengganti emas, untuk transaksi global. Konon dua nama yang diusulkan adalah unitas dan bancor (bank anchor).

Namun Dexter White mendorong, bahkan terkesan memaksa, agar mata uang dollar yang akan menggantikan emas.

Maynard Keynes tak bisa berkutik lagi, bukan karena Keynes kalah berdebat, tapi karena posisi Inggris yang sudah nyaris tak bertenaga untuk melawan Amerika secara ekonomi.

Sejak perang dunia kedua bermula, Inggris sangat bergantung pada pasokan dan pinjaman dari Amerika.

Selepas perang, Inggris malah nyaris bangkrut. Mau tak mau, Inggris harus ikut apapun keinginan Amerika, selama Inggris bisa mengakses pinjaman tambahan dari Amerika.

Kesepakatan yang didapat adalah bahwa semua mata uang anggota konfrensi Bretton Wood akan dikaitkan (pegged) kepada dollar.

Dan hanya dollar satu-satunya yang dikaitkan kepada emas. Artinya, semua cadangan emas bank sentral akan berganti menjadi dollar.

Amerika akan membeli semua emas tersebut dengan harga 35 dollar AS per gram. Arti lainya, semua impor suatu negara tidak lagi dibayar pakai emas, seperti era sebelumnya, tapi pakai dollar.

Ilustrasinya begini. Indonesia yang mengimpor segala hal dari luar negeri tidak bisa dibayar pakai mata uang rupiah. Rupiah tentu tak laku di negara lain.

Kalau mengimpor dari korea, misalnya, Indonesia tentu tak bisa membayar Korea dengan Rupiah. Paling pahit bisa menggunakan won, tapi bank sentral Indonesia hanya boleh mencetak Rupiah, bukan won. Begitu juga ke negara lainnya.

Apalagi, secara teknis terlalu ribet urusannya kalau akhirnya menggunakan mata uang berbeda-beda ke setiap negara.

Rupiah harus dikonversi ke mata uang A, kalau ingin berurusan dengan negara A, lalu ke mata uang B kalau mau berurusan dengan negara B, dst.

Jadi, jalan satu-satunya dulu adalah memakai mata uang yang bisa diterima semua pihak, yakni emas. Emasnya dikonversikan ke mata uang tertentu dengan harga tertentu, misalnya 35 dollar AS per gram, lalu disesuaikan dengan biaya impor yang harus dibayarkan.

Selain itu, dulunya uang beredar juga terikat ke jumlah cadangan emas bank sentral satu negara. Kita mengenal sistem ini dengan standar emas (Gold Standard).

Kalau cadangan emas bank sentral sebuah negara hanya 100 gram, misalnya, maka uang beredar plus minus setara dengan 3500 dollar, jika harga emas satu gram adalah 35 dollar. Artinya, emas menjadi underlying setiap mata uang yang beredar.

Nah, setelah perjanjian Bretton Wood disepakati, emas sebagai alat pembayaran universal tersebut diganti dengan dollar. Kira-kira sederhananya seperti itu.

Amerika kemudian membeli semua cadangan emas di bank sentral negara-negara peserta sehingga cadangannya berganti dengan dollar.

Dan dollar tern harga 35 dolar per gram. Otomatis, cadangan devisa negara berganti dari emas menjadi dollar yang kemudian bisa dipakai untuk transaksi internasional, baik impor atau untuk membayar utang luar negeri.

Sistem ini berjalan sampai tahun 1971. Karena alasan banyaknya spekulasi dan inflasi, yang membuat stok emas Amerika menipis karena banyak negara mengonversi dollarnya ke komoditas emas setelah melihat Amerika mulai mencetak dollar melebihi cadangan emas yang ada di the Fed (Triffin Dilema), maka Richard Nixon menyuspensi Bretton Wood System, di tahun 1971. Secara riil, sistem tersebut berhenti digunakan tahun 1973.

Apa yang disuspensi? Yang disuspensi adalah convertibilitiy dollar terhadap emas. Alias Dollar diceraikan dari emas agar tidak ada lagi yang berspekulasi dengan menumpuk emas yang membuat dollar jatuh (monetary inflation), lalu ditukar lagi dengan dollar saat harga emas sudah dipuncak.

Artinya, pertama, jumlah dollar beredar tidak akan lagi tergantung pada jumlah cadangan emas yang ada di The Fed.

Kedua, nilai mata uang dollar tidak lagi “fixed” 35 dolar per gram emas, alias nilai dollar akan mengambang sesuai permintaan dan penawaran.

Karena semua mata uang terkait ke dollar dan hanya dollar yang terkait ke emas, maka saat dollar bercerai dengan emas, otomatis semua mata uang juga bercerai dengan emas. Sementara, cadangan devisa negara-negara sudah terlanjur berubah menjadi dollar.

Apa gantinya? Gantinya adalah surat utang. Surat utang, atau bond, atau obligasi negara, adalah underlying pengganti emas. Tidak dibutuhkan lagi emas tambahan untuk mencetak uang tambahan, cukup mencetak surat utang.

Kepercayaan terhadap dollar sempat jatuh tajam setelah keputusan Nixon tersebut. Untuk membangkitkannya lagi, beberapa tahun kemudian Henry Kissinger, berhasil merayu Saudi Arabia untuk membandrol harga minyaknya dengan dollar.

OPEC akan menetapkan minyak yang mereka jual harus dibayar memakai dollar.

Artinya apa? Semua negara membutuhkan minyak. Karena Saudi dan OPEC telah mendapatkan “deal” dengan Amerika, mau tak mau negara yang akan impor minyak harus membayarnya memakai dollar.

Walhasil, kepercayaan terhadap dollar mulai pulih, karena negara-negara akhirnya memilih menahan dollar sebagai cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan impor minyak.

Namun sistem berbasiskan dollar ini sangat menguntungkan Amerika. Amerika tak peduli berapapun banyak utang yang dibuat karena Amerika pasti mampu membayarnya.

Amerika cq The Fed bisa mencetak dollar kapanpun mereka mau. Just print it.

Sementara Indonesia, misalnya, memungut utang dalam bentuk dollar atau membayar impor memakai dollar, tapi untuk mendapatkan dollar, Indonesia harus melakukan ekspor dulu atau menarik utang dari IMF jika devisa habis, karena Bank Indonesia hanya boleh mencetak rupiah, bukan dollar.

Lantas dagaimana kalau sistem ini diganti dengan Yuan? Maka China akan diuntungkan seperti Amerika hari ini.

Jalan satu-satunya adalah kembali ke ide Keynes semula, mata uang baru, yang tidak berasal dari negara mana pun. Seperti emas tadi, tapi bentuknya uang.

Nah, di sinilah konteksnya mengapa negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) berniat membuat mata uang baru pengganti dollar.

Tapi itu bukanlah hal baru. Zona Eropa dengan Euro adalah yang pertama.

Apa risikonya bagi Amerika? Sebagian dollar di reserved bank sentral negara lain akan berkurang. Negara-negara anggota BRICS akan mengurangi penggunaan dollar, berganti ke mata uang bersama yang baru atau ke safe heaven lain seperti emas dan sejenisnya.

Jadi, sekian persen jumlah dollar dunia diperkirakan akan pulang kampung ke Amerika di satu sisi dan negara-negara lain akan membuang atau kurang tertarik lagi membeli surat utang Amerika di sisi lain. They will dump the dollar.

Dollar akan terdepresiasi tajam kelebihan money base di pasar domestik, aset-aset finansial di Amerika akan mengalami kejatuhan nilai alias diterjang monetary inflation.

Di sisi lain, kemampuan impor Amerika akan menurun, karena nilai mata uangnya jatuh. Impor akan semakin mahal.

Jadi akan terjadi inflasi di sektor riil, seiring dengan monetary inflation. Artinya, Amerika juga berpeluang mengurangi impor dari Indonesia

Sisi baiknya bagi Amerika, produk-produk besutan Amerika akan mendadak kompettif karena mendadak murah.

Misalnya, kalau sebelumnya harga sepatu Nike impor dari US adalah 100 dollar AS, maka kita akan bayar Rp 1,5 juta untuk satu sepatu, dengan kurs 15.000 per dollar.

Kalau dollarnya tepar menjadi Rp 9.000 per dollar, maka harga Nike di sini akan menjadi Rp 900.000. Nike akan berpeluang semakin laku, karena mendadak murah. Begitu pula dengan harga minyak Amerika, Iphone, harga senjata dari Amerika, dll.

Risiko bagi negara lain, seperti Indonesia, daya saing ekspor kita akan melemah karena mata uang rupiah menguat tajam terhadap dollar.

Jadi sebenarnya yang akan terjadi persis seperti perkembangan geopolitik global, yakni multipolar.

Situasinya akan mirip dengan era perang dingin, yakni akan muncul trade block. Bedanya pesertanya lebih banyak. Blok dagang A akan menggunakan maka uang A, blok dagang B akan memakai mata uang B.

Jika negara dari Blok A ingin berdagang dengan negara dari Blok B, bisa kembali ke sistem lama pakai sistem lama, yakni bisa memakai dollar, euro, sterling, yen, plus yuan, sesuai SDR di IMF.

Kelima mata uang ini saat ini dianggap sebagai special drawing right (SDR) di IMF, yang bisa dipakai secara internasional, meskipun persentase yuan masih terbilang sangat kecil

Apakah dollar akan mendadak kolaps? Melemah iya, kolaps nampaknya tidak. Mitra dagang Amarika masih banyak.

Yang terjadi sebenarnya adalah pengurangan dominasi dollar, penambahan pemain baru. Amerika memang sebagai pihak pertama yang telah membangun sistem moneter internasional setelah perang dunia kedua.

China hanya mengikut di belakang dan justru diuntungkan oleh institusi internasional yang dibangun oleh Amerika, seperri WTO.

Namun saat ini China sudah menjadi pemain utama dalam perdagangan global. Tapi untuk membuat sistem baru berbasiskan dollar sekelas SWIFT tentu membutuhkan waktu bagi China.

Jalan awal adalah dengan membangun sistem pembayaran bilateral, lalu membangun komunitas negara seperti BRICS, dan memperkenalkan e-currency, dll, untuk menambah pemain, dengan harapan volume perdagangannya menjadi dominan, anggota bertambah, maka mata uang baru tersebut akan menjadi mata uang besar sekelas Euro dan Dollar.

Namun demikian, dollar akan tetap dipakai dalam volume yang luas untuk waktu yang cukup lama, dengan persentase yang akan terus menurun dari waktu ke waktu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com