Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mela Yunita
Peneliti

Direktur Eksekutif Pusat Riset Sosial dan Ekonomi Indonesia (Presisi). Doktor Ilmu EKonomi Pertanian IPB (2022); Master Ilmu EKonomi IPB (2017) dan Sarjana Ekonomi FEB Unej (2015). Peneliti dan pengamat ekonomi dan sosial.

Meraba Sinyal Kebijakan The Fed

Kompas.com - 19/06/2023, 08:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANK Sentral Amerika (The Fed) memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di angka 5 hingga 5,25 persen pada Juni 2023. Ini pertama kali setelah 15 bulan tanpa jeda memperketat kebijakan moneternya.

Namun, bukan berarti The Fed akan mengakhiri stance kebijakannya yang hawkish. Justru sebaliknya, kebijakan moneter The Fed jadi super-hawkish.

Gubernur The Fed Jerome Powell menandaskan kepada publik bahwa suku bunga acuan akan dinaikkan lagi sampai dua kali nantinya pada tahun ini. Artinya, masalah inflasi belum surut dan masih jadi kekhawatiran besar bagi perekonomian Amerika Serikat.

Per kondisi ini tidak lepas dari proyeksi inflasi yang makin suram. Inflasi inti diramalkan akan tetap tinggi sampai pada akhir 2023.

Lebih jauh, angkanya juga mengalami koreksi lebih tinggi. Mulanya 3,6 persen naik lagi menjadi 3,99 persen.

Mau tidak mau, suku bunga acuan The Fed harus dikerek kembali lagi akhirnya. Kurang lebih, prediksinya akan mencapai 5,625 persen sampai akhir tahun nanti.

Ini merupakan malapetaka bagi kebanyakan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.

Pernyataan tersebut merupakan sinyalemen kuat bahwa The Fed akan menguras kembali likuiditas global dengan pengetatan kebijakan moneternya.

Prognosa ekonomi ke depan

Sedikit banyak, sinyal The Fed yang hawkish ini cukup memupus asa Bank Indonesia (BI) dalam upaya memacu kembali permintaan domestik yang sedang terbebani.

Sejak rilis statistik makroekonomi beberapa bulan lalu, tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik sebetulnya sudah nampak jelas.

Pada Triwulan I 2023, pertumbuhan ekonomi mengalami sedikit koreksi menjadi 5,03 persen (y-o-y). Lebih jauh, pertumbuhan kredit perbankan dan daya beli masyarakat juga mengalami penurunan sejak bulan Mei lalu.

Pada tataran ini, rupiah tentunya akan dihadapkan pada sentimen pasar yang gamang dalam mencerna sinyal hawkish yang dimunculkan oleh The Fed.

Mengarus dari risalah tentang analisis teknikal yang dirilis oleh Bloomberg, rupiah berpotensi akan terus melemah dan terkoreksi sampai pada taraf Rp 14.980 per dolar AS hingga Rp 15.010 per dolar AS.

Jika nilai rupiah mengalami penguatan, maka diprediksi akan berada pada taraf Rp 14.918 per dolar AS hingga Rp 14.878 per dolar AS.

Apabila benar terjadi skenario kenaikan suku bunga acuan The Fed sampai ke tingkat 5,625 persen, maka akan jadi tamparan keras untuk nilai tukar rupiah serta pertumbuhan ekonomi domestik.

Potensi imported inflation pada akhir tahun akan lebih besar dan berisiko menyulut inflasi yang baru-baru ini sudah mulai melandai. Tak pelak, ini juga akan membuat tugas BI jadi makin rumit ke depan.

Menavigasi biduk kebijakan Bank Indonesia

Sinyal hawkish yang secara terang disampaikan oleh The Fed, tentunya akan sangat memengaruhi orientasi kebijakan BI pada sisa tahun ini.

Bilamana, skenario tersebut dijalankan, maka BI harus bersiap untuk bekerja ekstra menghadapi perubahan iklim ekonomi yang sangat terdampak.

Memang, BI menegaskan bahwa keputusan suku bunga acuan adalah independen dan tidak tergantung pada keputusan bank sentral lain.

Namun mengingat posisi The Fed yang sangat krusial bagi Indonesia, maka turbulensi pada nilai tukar rupiah tak dapat dielakkan. Lebih dari itu, dana permodalan asing secara alamiah juga akan mengalami capital outflow.

Menanggapi sinyal-sinyal yang diberikan tersebut, BI diharapkan mampu mengambil stance kebijakan yang tepat dan penuh kehati-hatian.

Pasalnya, ruang gerak suku bunga sangat terbatas. Di satu sisi, respons dengan menaikkan suku bunga dapat menciptakan destabilisasi tinggi bagi ekonomi.

Lantaran fenomena yang terjadi di Indonesia sifatnya adalah musiman dan iklim investasi masih belum tumbuh sepenuhnya.

Di tengah pertumbuhan kredit perbankan yang sedang merosot dan daya beli yang kian menurun, tentunya mengerek suku bunga acuan bukanlah langkah yang bijak.

Belum lagi, ada masalah stok cadangan devisa yang semakin terkuras akibat ketidakpastian global yang tinggi.

Per Mei 2023, BI mencatat posisi cadangan devisa sebesar 139,3 miliar dolar AS. Angka tersebut terus menurun untuk dua bulan beruntun dan tercatat sebagai yang terendah sepanjang tahun ini.

Oleh sebab itu, kenaikan suku bunga tidak diperlukan di tengah sengkarutnya ekonomi saat ini.

Sementara itu, respons kebijakan dengan menurunkan suku bunga sebetulnya cukup meragukan.

Lantaran dalam kondisi ketidakpastian yang masih dominan saat ini, masyarakat tidak akan begitu berminat untuk mengakses kredit. Alhasil, tidak akan begitu ada dampak signifikan terhadap peningkatan daya beli.

Lebih jauh, penurunan suku bunga bisa memperburuk risiko capital outflow yang pada gilirannya dapat menyebabkan tekanan lebih keras pada nilai tukar dan semakin menguras cadangan devisa.

Alih-alih merangsang ekonomi, suku bunga yang turun bisa jadi melemahkan imun ekonomi.

Bicara soal inflasi, sifat pergerakan harga di Indonesia sejatinya didorong oleh faktor musiman, seperti pada perayaan hari-hari besar tertentu.

Bila ditelaah lebih dalam, penurunan inflasi bulan Mei lalu tidak benar-benar terjadi menyeluruh pada berbagai indikator perhitungan inflasi.

Faktanya, penurunan tersebut disumbang hanya pada beberapa komponen pembentuk inflasi inti, terutama kelompok pakaian dan alas kaki.

Sementara itu, Inflasi pada kelompok volatile food bulan Mei 2023, meningkat dibandingkan dengan perkembangan bulan sebelumnya. Dengan demikian, utak-atik suku bunga ke stance yang dovish perlu dikoridori secara berhati-hati.

Inflasi yang belum benar-benar turun bisa memunculkan potensi cost of disinflation yang dipicu oleh pelemahan nilai tukar atau imported inflation.

Ke depan, ini akan membuat kebijakan moneter harus lebih ketat lagi dan pada gilirannya bisa mendegradasi pertumbuhan ekonomi yang sudah kian melambat.

Oleh sebab itu, menahan stance kebijakan suku bunga untuk sementara waktu adalah pilihan yang paling aman bagi BI.

Sembari memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi mulai membaik, sambil menjaga stabilitas harga, serta tetap membuat wacana kebijakan bilamana The Fed benar-benar menaikkan suku bunga mereka seperti yang telah ditandaskan sebelumnya.

BI juga harusnya bisa mengambil tindakan kolaboratif melalui sinergitas dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis lainnya dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.

Terutama dalam mengendalikan kelompok administred prices dan volatile food yang sangat berisiko mengalami lonjakan pada Hari Raya Idul Adha bulan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gandeng Binawan, RSUP dr Kariadi Tingkatkan Keterampilan Kerja Tenaga Kesehatan

Gandeng Binawan, RSUP dr Kariadi Tingkatkan Keterampilan Kerja Tenaga Kesehatan

Whats New
Stok Beras Pemerintah Capai 1,85 Juta Ton

Stok Beras Pemerintah Capai 1,85 Juta Ton

Whats New
Fokus Starlink, Elon Musk Sebut Ada Kemungkinan Investasi Lainnya di Indonesia

Fokus Starlink, Elon Musk Sebut Ada Kemungkinan Investasi Lainnya di Indonesia

Whats New
Lahan Kering di RI Besar, Berpotensi Jadi Hutan Tanaman Energi Penghasil Biomassa

Lahan Kering di RI Besar, Berpotensi Jadi Hutan Tanaman Energi Penghasil Biomassa

Whats New
Riset IOH dan Twimbit Soroti Potensi Pertumbuhan Ekonomi RI Lewat Teknologi AI

Riset IOH dan Twimbit Soroti Potensi Pertumbuhan Ekonomi RI Lewat Teknologi AI

Whats New
Cara Cek Penerima Bansos 2024 di DTKS Kemensos

Cara Cek Penerima Bansos 2024 di DTKS Kemensos

Whats New
IHSG Melemah 50,5 Poin, Rupiah Turun ke Level Rp 15.978

IHSG Melemah 50,5 Poin, Rupiah Turun ke Level Rp 15.978

Whats New
Dari Hulu ke Hilir, Begini Upaya HM Sampoerna Kembangkan SDM di Indonesia

Dari Hulu ke Hilir, Begini Upaya HM Sampoerna Kembangkan SDM di Indonesia

Whats New
Disebut Jadi Penyebab Kontainer Tertahan di Pelabuhan, Ini Penjelasan Kemenperin

Disebut Jadi Penyebab Kontainer Tertahan di Pelabuhan, Ini Penjelasan Kemenperin

Whats New
Perbankan Antisipasi Kenaikan Kredit Macet Imbas Pencabutan Relaksasi Restrukturisasi Covid-19

Perbankan Antisipasi Kenaikan Kredit Macet Imbas Pencabutan Relaksasi Restrukturisasi Covid-19

Whats New
KKP Tangkap Kapal Ikan Berbendera Rusia di Laut Arafura

KKP Tangkap Kapal Ikan Berbendera Rusia di Laut Arafura

Whats New
Defisit APBN Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran Dipatok 2,45 Persen-2,58 Persen

Defisit APBN Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran Dipatok 2,45 Persen-2,58 Persen

Whats New
Bos Bulog Sebut Hanya Sedikit Petani yang Manfaatkan Jemput Gabah Beras, Ini Sebabnya

Bos Bulog Sebut Hanya Sedikit Petani yang Manfaatkan Jemput Gabah Beras, Ini Sebabnya

Whats New
Emiten Gas Industri SBMA Bakal Tebar Dividen Rp 1,1 Miliar

Emiten Gas Industri SBMA Bakal Tebar Dividen Rp 1,1 Miliar

Whats New
Citi Indonesia Tunjuk Edwin Pribadi Jadi Head of Citi Commercial Bank

Citi Indonesia Tunjuk Edwin Pribadi Jadi Head of Citi Commercial Bank

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com