BANK Sentral Amerika (The Fed) memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya di angka 5 hingga 5,25 persen pada Juni 2023. Ini pertama kali setelah 15 bulan tanpa jeda memperketat kebijakan moneternya.
Namun, bukan berarti The Fed akan mengakhiri stance kebijakannya yang hawkish. Justru sebaliknya, kebijakan moneter The Fed jadi super-hawkish.
Gubernur The Fed Jerome Powell menandaskan kepada publik bahwa suku bunga acuan akan dinaikkan lagi sampai dua kali nantinya pada tahun ini. Artinya, masalah inflasi belum surut dan masih jadi kekhawatiran besar bagi perekonomian Amerika Serikat.
Per kondisi ini tidak lepas dari proyeksi inflasi yang makin suram. Inflasi inti diramalkan akan tetap tinggi sampai pada akhir 2023.
Lebih jauh, angkanya juga mengalami koreksi lebih tinggi. Mulanya 3,6 persen naik lagi menjadi 3,99 persen.
Mau tidak mau, suku bunga acuan The Fed harus dikerek kembali lagi akhirnya. Kurang lebih, prediksinya akan mencapai 5,625 persen sampai akhir tahun nanti.
Ini merupakan malapetaka bagi kebanyakan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Pernyataan tersebut merupakan sinyalemen kuat bahwa The Fed akan menguras kembali likuiditas global dengan pengetatan kebijakan moneternya.
Sedikit banyak, sinyal The Fed yang hawkish ini cukup memupus asa Bank Indonesia (BI) dalam upaya memacu kembali permintaan domestik yang sedang terbebani.
Sejak rilis statistik makroekonomi beberapa bulan lalu, tanda-tanda perlambatan ekonomi domestik sebetulnya sudah nampak jelas.
Pada Triwulan I 2023, pertumbuhan ekonomi mengalami sedikit koreksi menjadi 5,03 persen (y-o-y). Lebih jauh, pertumbuhan kredit perbankan dan daya beli masyarakat juga mengalami penurunan sejak bulan Mei lalu.
Pada tataran ini, rupiah tentunya akan dihadapkan pada sentimen pasar yang gamang dalam mencerna sinyal hawkish yang dimunculkan oleh The Fed.
Mengarus dari risalah tentang analisis teknikal yang dirilis oleh Bloomberg, rupiah berpotensi akan terus melemah dan terkoreksi sampai pada taraf Rp 14.980 per dolar AS hingga Rp 15.010 per dolar AS.
Jika nilai rupiah mengalami penguatan, maka diprediksi akan berada pada taraf Rp 14.918 per dolar AS hingga Rp 14.878 per dolar AS.
Apabila benar terjadi skenario kenaikan suku bunga acuan The Fed sampai ke tingkat 5,625 persen, maka akan jadi tamparan keras untuk nilai tukar rupiah serta pertumbuhan ekonomi domestik.
Potensi imported inflation pada akhir tahun akan lebih besar dan berisiko menyulut inflasi yang baru-baru ini sudah mulai melandai. Tak pelak, ini juga akan membuat tugas BI jadi makin rumit ke depan.
Sinyal hawkish yang secara terang disampaikan oleh The Fed, tentunya akan sangat memengaruhi orientasi kebijakan BI pada sisa tahun ini.
Bilamana, skenario tersebut dijalankan, maka BI harus bersiap untuk bekerja ekstra menghadapi perubahan iklim ekonomi yang sangat terdampak.
Memang, BI menegaskan bahwa keputusan suku bunga acuan adalah independen dan tidak tergantung pada keputusan bank sentral lain.
Namun mengingat posisi The Fed yang sangat krusial bagi Indonesia, maka turbulensi pada nilai tukar rupiah tak dapat dielakkan. Lebih dari itu, dana permodalan asing secara alamiah juga akan mengalami capital outflow.
Menanggapi sinyal-sinyal yang diberikan tersebut, BI diharapkan mampu mengambil stance kebijakan yang tepat dan penuh kehati-hatian.
Pasalnya, ruang gerak suku bunga sangat terbatas. Di satu sisi, respons dengan menaikkan suku bunga dapat menciptakan destabilisasi tinggi bagi ekonomi.
Lantaran fenomena yang terjadi di Indonesia sifatnya adalah musiman dan iklim investasi masih belum tumbuh sepenuhnya.
Di tengah pertumbuhan kredit perbankan yang sedang merosot dan daya beli yang kian menurun, tentunya mengerek suku bunga acuan bukanlah langkah yang bijak.
Belum lagi, ada masalah stok cadangan devisa yang semakin terkuras akibat ketidakpastian global yang tinggi.
Per Mei 2023, BI mencatat posisi cadangan devisa sebesar 139,3 miliar dolar AS. Angka tersebut terus menurun untuk dua bulan beruntun dan tercatat sebagai yang terendah sepanjang tahun ini.
Oleh sebab itu, kenaikan suku bunga tidak diperlukan di tengah sengkarutnya ekonomi saat ini.
Sementara itu, respons kebijakan dengan menurunkan suku bunga sebetulnya cukup meragukan.
Lantaran dalam kondisi ketidakpastian yang masih dominan saat ini, masyarakat tidak akan begitu berminat untuk mengakses kredit. Alhasil, tidak akan begitu ada dampak signifikan terhadap peningkatan daya beli.
Lebih jauh, penurunan suku bunga bisa memperburuk risiko capital outflow yang pada gilirannya dapat menyebabkan tekanan lebih keras pada nilai tukar dan semakin menguras cadangan devisa.
Alih-alih merangsang ekonomi, suku bunga yang turun bisa jadi melemahkan imun ekonomi.
Bicara soal inflasi, sifat pergerakan harga di Indonesia sejatinya didorong oleh faktor musiman, seperti pada perayaan hari-hari besar tertentu.
Bila ditelaah lebih dalam, penurunan inflasi bulan Mei lalu tidak benar-benar terjadi menyeluruh pada berbagai indikator perhitungan inflasi.
Faktanya, penurunan tersebut disumbang hanya pada beberapa komponen pembentuk inflasi inti, terutama kelompok pakaian dan alas kaki.
Sementara itu, Inflasi pada kelompok volatile food bulan Mei 2023, meningkat dibandingkan dengan perkembangan bulan sebelumnya. Dengan demikian, utak-atik suku bunga ke stance yang dovish perlu dikoridori secara berhati-hati.
Inflasi yang belum benar-benar turun bisa memunculkan potensi cost of disinflation yang dipicu oleh pelemahan nilai tukar atau imported inflation.
Ke depan, ini akan membuat kebijakan moneter harus lebih ketat lagi dan pada gilirannya bisa mendegradasi pertumbuhan ekonomi yang sudah kian melambat.
Oleh sebab itu, menahan stance kebijakan suku bunga untuk sementara waktu adalah pilihan yang paling aman bagi BI.
Sembari memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi mulai membaik, sambil menjaga stabilitas harga, serta tetap membuat wacana kebijakan bilamana The Fed benar-benar menaikkan suku bunga mereka seperti yang telah ditandaskan sebelumnya.
BI juga harusnya bisa mengambil tindakan kolaboratif melalui sinergitas dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis lainnya dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui penguatan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Terutama dalam mengendalikan kelompok administred prices dan volatile food yang sangat berisiko mengalami lonjakan pada Hari Raya Idul Adha bulan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.