Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Pertaruhan Kredibilitas Fiskal Akhir Periode Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 20/07/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara nominal, belanja bunga utang pada 2017 adalah Rp 221,1 triliun menjadi Rp 437,4 triliun pada outlook 2023 atau meningkat 97,8 persen selama 5 tahun terakhir.

Rasio belanja bunga utang terhadap penerimaan negara adalah salah satu indikator untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam membayar kewajiban bunga utangnya.

Rasio ini menunjukkan berapa persen dari penerimaan negara yang digunakan untuk membayar bunga utang.

Semakin tinggi rasio beban bunga terhadap penerimaan negara, semakin besar beban bunga utang yang harus ditanggung pemerintah dan semakin rendah kapasitas fiskalnya.

Dari sumber data yang sama, terlihat bahwa rasio bunga utang terhadap penerimaan negara meningkat. Dari 2017-2022, rata-rata peningkatan rasio bunga utang terhadap penerimaan negara adalah 16,43 persen. Melampaui rekomendasi IMF dengan threshold tidak lebih dari 10 persen.

Peningkatan rasio utang terhadap penerimaan bila tak diimbangi dengan pengelolaan risiko (debt risk/debt management), bisa menimbulkan masalah kemudian hari. Selain pengelolaan utang agar under risk, pemerintah juga perlu meningkatkan penerimaan.

Tax ratio APBN 2023 yang cenderung turun dari realisasi 2022 tentulah menggahar was-was, apakah konsolidasi fiskal berakhir khusnul khotimah atau su’ul? Tentu ini pertaruhan wajah pemerintahan Jokowi pada akhir periode.

Beberapa pihak meramal Tax buoyancy Indonesia tahun 2023 diperkirakan turun di bawah level 1 (satu) menjadi 0,09 persen.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, moderasi harga komoditas, tidak adanya momentum berulang seperti program pengungkapan sukarela (PPS), dan normalisasi tax buoyancy setelah dua tahun terakhir mencapai angka 2.

Akibatnya, rasio pajak atau tax ratio Indonesia pada 2023 juga diperkirakan turun menjadi 9,61 persen, lebih rendah dari tahun 2022 yang mencapai 10,41 persen.

Artinya, tahun 2023, penerimaan pajak hanya bertumbuh 0,09 persen untuk setiap satu persen pertumbuhan ekonomi.

Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak tidak sebanding dengan performa ekonomi. Penerimaan pajak harus mencapai Rp 2.944,5 triliun pada 2023 untuk membuat tax buoyancy satu.

Ini berarti penerimaan pajak harus meningkat sebesar Rp 910 triliun atau 44,7 persen dari tahun 2022.

Tax buoyancy satu atau di atas satu artinya penerimaan pajak tumbuh sebanding atau lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih rendah dari PDB dapat menimbulkan dampak negatif, seperti: Pertama, menurunkan kemampuan fiskal negara untuk membiayai pengeluaran publik dan mengurangi defisit anggaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com