Oleh: Kahfiya Hasbi*
KOK judul tulisan ini sepertinya nyinyir? Bagi yang tidak merasa begitu sih, Alhamdulillah.
Kebetulan saya berasal dari kelompok Gen Y atau Gen Millenial Indonesia, yang (katanya) kondisi keuangannya 44,6 persen masih biasa saja dan 33,1 persen dianggap buruk, versi Katadata tahun 2021.
Di kelompok ini, sumber keuangan masih sebagian besar dari gaji bulanan. Bukannya tidak berpikir untuk mendapatkan sumber penghasilan lain-lain, tapi sebagian besar kelompok umur ini lebih suka berandai-andai daripada mengeksekusi.
Venturing di dunia “seandainya saya punya waktu, tenaga, atau modal untuk buka usaha”, sepertinya lebih menyenangkan daripada gas pol langsung buka bisnis atau mencari penghasilan pasif.
Namun ini semua bukan tentang saya, ini kan tentang kamu yang baca tulisan ini. Semoga kamu bertahan membaca tulisan ini sampai titik full stop terakhir.
Menurut hasil riset OCBC featuring NielsenIQ baru-baru ini, literasi keuangan Gen Y dan Gen Z cukup minim.
Hanya sembilan persen kaum ini yang telah melakukan investasi terstruktur, misalnya membeli produk-produk reksa dana, saham, dan deposito.
Ketimbang melakukan investasi, kaum ini justru memarjinalisasi diri sendiri dengan “menghabiskan uang untuk mengikuti gaya hidup teman”. Ini bukan kata saya loh ya, ini kata riset OCBC, mudah-mudahan kamu tidak termasuk salah satunya.
Yah, tidak heran sih, coba buka saja akun media sosial kamu dan cek status atau story orang-orang yang kamu follow. (Mungkin) isinya banyak yang memperlihatkan betapa indahnya dunia maya milik mereka (dan milik saya, kalau kamu mem-follow saya).
Media sosial sebagai tempat membagi kehidupan sosial, selain ada yang berisi curhat-curhatan, ada juga berisi pamer-pameran.
Nah, sekian persen yang melihat si pamer ini, mulai panas hatinya, mulai tumbuh iri dengkinya pun berkata dalam hati “Ah segini aja, gue juga bisa”, kemudian besoknya dia langsung membeli Ferrari. Ini ilustrasi loh ya, hanya ilustrasi (tapi bisa saja ini nyata).
Bagi yang kurang beruntung, tapi punya juga sisi hatinya yang panas ingin melebihi temannya (walau tidak mengaku), mungkin tidak membeli mobil, tapi berswafoto dengan berbagai pose bersama mobil direksi seri terbaru yang terparkir di parkiran direksi.
Intinya, ketika melihat gaya hidup temannya meningkat, entah itu barang mewah baru, atau itu prestasi baru seperti promosi di kantor, muncul rasa ingin menyaingi.
Memang tidak semua begitu, tapi riset (bukan kata saya) ternyata menunjukkan hasil yang demikian. Apakah hal ini jelek?