Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Food Estate era Soeharto, Proyek Gagal, Hutan Gambut Terlanjur Rusak

Kompas.com - 16/08/2023, 19:06 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Mega proyek food estate jadi sorotan publik beberapa hari terakhir. PDI Perjuangan (PDIP) menyebut program food estate Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal, bahkan menjadi kejahatan lingkungan.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan proyek lumbung pangan tersebut mangkrak dan diduga disalahgunakan. Menurutnya, proyek-proyek itu kini hanya berimbas pada penebangan hutan yang tak menghasilkan apapun.

Apabila mengacu Perpres Nomor 108 Tahun 2022, food estate masuk proyek prioritas strategis. Bahkan, food estate masuk dalam golongan proyek strategis nasional (PSN) dalam Permenko Perekonomian Nomor 21 Tahun 2022.

Secara harfiah, apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, food estate berarti lumbung pangan. Presiden Jokowi sendiri menggagas proyek food estate di awal periode keduanya.

Baca juga: Kontroversi Food Estate, Babat Hutan Kalimantan Demi Kebun Singkong

Dua instansi pemerintah, Kementerian Pertanian dan Kementerian Pertahanan saling berbagi tugas. Kemenhan fokus menanam singkong, sementara Kementan menggarap komoditas pangan lain.

Food estate era Soeharto

Tudingan kegagalan program food estate era Jokowi mengingatkan kembali pada proyek serupa di era Presiden Soeharto. Sasarannya adalah hutan Kalimantan yang dibuka penguasa Orde Baru untuk kemudian dijadikan sawah.

Niat Soeharto sejatinya mulia, yakni agar Indonesia tak terlalu bergantung pangan beras dari Pulau Jawa. Pulau Kalimantan pun dipilih karena lahannya yang relatif paling luas.

Soeharto berencana mengembangkan lahan gambut seluas 1,45 juta hektar pada tahun 1995 di Kalteng. Pemilihan Kalteng sebagai lokasi lumbung beras dilatarbelakangi oleh kondisi wilayahnya.

Baca juga: Mengapa Menhan Prabowo Subianto Kini Sibuk Tanam Singkong?

Pada waktu itu, terdapat lahan rawa seluas 5,8 juta hektar dari total luas kawasan Kalteng. Di sisi lain, penduduk provinsi ini hanya 1,6 juta jiwa atau sebanyak 9 jiwa per kilometer persegi.

Megaproyek ini juga ditargetkan dapat menampung 316.000 kepala keluarga (KK) atau 1,7 juta jiwa transmigran. Masyarakat lokal juga diberdayakan dalam program ini.

Pada tahun 1995 melalui Keppres Nomor 82 Tahun 1995, Presiden Soeharto membuat Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah.

Namun keberadaan program PLG itu, akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan BJ Habibie.

Baca juga: Alasan Jokowi Subsidi Tiket Kereta Cepat: Itu Kewajiban Pemerintah

Mengutip laman Litbang Kemenkes, PLG tersebut gagal dikarenakan kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut.

Artinya program PLG itu adanya ketidaksesuaian lahan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Selain itu, adanya kerusakan lahan gambut itu, akhirnya memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan.

Di mana, kondisi itu memiliki beban biaya penanggulangan bencana yang menguras keuangan negara dan semakin memiskinkan rakyat.

Lebih jauh, bahkan keberadaan lumbung pangan menjadi gagal dibangun dan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini.

Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp 1,7 triliun yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.

Baca juga: Ironi Kereta Cepat: Kereta Mewah, tapi Tiketnya Bakal Disubsidi APBN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com