BELAKANGAN ini, Jakarta sedang menjadi sorotan karena polusi udara yang pekat. Atmosfer ibu kota Indonesia diselubungi asap kotor.
Meski dalam hati miris, saya berpikir hal ini terjadi untuk mengingatkan seluruh pemangku kepentingan. Ini contoh nyata kalau tidak ada aksi untuk menyelamatkan bumi Indonesia.
Berbagai pihak tampak mencari penyebab polusi udara, namun tidak mengambil tanggung jawab. Seolah-olah polusi terjadi layaknya bencana alam yang kita hanya bisa pasrah, karena tidak bisa menduga kapan terjadi. Polusi nyata-nyata akibat dari aktivitas manusia.
Pembangkit batu bara pun ikut disalahkan. PLTU yang dekat dengan Jakarta dikambinghitamkan, sebagai penyebab polusi yang menyelubungi Jakarta.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung dengan kapasitas 145 MW, yang sudah terpasang di Cirata, Jawa Barat, seakan luput dari berita. Seakan keberadaan proyek besar ini tidak penting untuk dibicarakan.
Rp 1,7 triliun mengapung di air, tulis Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil pada twitternya @ridwankamil, dikutip Sabtu (12/8/2023).
Keberhasilan pembangunan PLTS terapung di waduk Cirata berhasil meyakinkan PLN untuk membangun lebih banyak lagi PLTS terapung.
Dalam rencana usahanya (RUPTL 2021-2030), setidaknya pada tujuh waduk akan dibangun PLTS terapung.
Yakni Waduk Gajah Mungkur Wonogiri, Jawa Tengah (100 MW), Waduk Sutami Karangkates, Jawa Timur (122 MW), Waduk Jatiluhur, Jawa Barat (100 MW), Waduk Mrica Banjarnegara, Jawa Tengah (60 MW), Waduk Saguling, Jawa Barat (60 MW), Waduk Wonorejo Tulungagung, Jawa Timur (122 MW), dan Danau Singkarak, Sumatera Barat (48 MW).
Potensi PLTS terapung di Indonesia cukup besar, yaitu 28,4 GW (Kompas.com, 10 Juni). Perhitungan tersebut diperoleh dari potensi pemanfaatan 5 persen luasan permukaan waduk dan danau di Indonesia.
Angka ini bisa bertambah dua kali lipat seandainya pemanfaatan bisa ditoleransi menjadi 10 persen. Jika ditambahkan dengan potensi PLTS terapung lepas pantai, maka potensi yang dimiliki Indonesia menjadi sangat besar. Terbesar di dunia.
Riset terbaru dari The Australian National University, pada artikel Global Atlas of Marine Floating Solar PV Potential, menemukan bahwa Indonesia memiliki perairan laut yang tenang (calm sea), sangat cocok untuk implementasi PLTS terapung.
Luas perairan tersebut mencapai 140.000 kilometer per segi bentang laut, kira-kira seluas Pulau Jawa ditambah dengan Pulau Bali.
Apabila perairan ini dimanfaatkan untuk PLTS terapung, potensinya setara dengan 35.000 terawatt-jam (TWh) per tahun.
Sebagai gambaran, potensi PLTS lepas pantai lebih dari 100 kali lipat produksi listrik PLN tahun 2022 (308 TWh). Potensi 35.000 TWh per tahun hanya untuk perairan lepas pantai paling aman (ombak < 4m, kecepatan angin < 10m/s).
Jika panel mampu mentoleransi ombak maksimal 6m, dan kecepatan angin maksimal 15m/s, maka potensi produksi energi mencapai 600.000 TWh per tahun. Setara dengan tiga kali lipat konsumsi energi dunia saat ini (200.000 TWh).
Singkatnya potensi PLTS terapung pada perairan tawar atau lepas pantai di Indonesia, sangat luar biasa besarnya!
Berdasarkan data Kementerian ESDM, jika elektrifikasi seluruh kegiatan ekonomi tercapai, transportasi, industri, semua beralih pada energi bersih, maka Indonesia akan membutuhkan energi listrik sebesar 4.250 TWh per tahun. Kebutuhan ini sekitar 14 kali lipat dibandingkan dengan produksi listrik PLN tahun 2022 (308 TWh).
Saat ini bauran energi terbarukan di Indonesia sebesar 14 persen (ESDM, 2022). Jika nanti energi fosil semua dihentikan (phase out), maka energi terbarukan harus 100 persen siap menggantikan.