Untuk keluar dari posisi ini dibutuhkan pendapatan per kapita di atas 13.000 dollar AS alias lebih dari tiga kali lipat per kapita.
Artinya dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persenan secara konsisten selama 20 tahun atau 10 persen secara konsisten selama 15 tahun untuk sampai pada level tersebut.
Masalahnya, Presiden Jokowi yang berkoar-koar tentang bonus demografi dan middle income trap saja bahkan tidak mampu menorehkan angka tersebut.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi berkuasa selama sembilan tahun hanya lima persen, jauh dari janji kampanye yang beliau sampaikan, yakni 7 persen.
Kegagalan Jokowi dalam meraih pertumbuhan 7 persen tersebut semestinya menjadi catatan penting bagi kandidat Pilpres 2024 seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan bahwa tegak lurus bersama Jokowi justru tidak akan menghasilkan mimpi untuk keluar dari middle income trap.
Dibutuhkan tambahan pendekatan - pendekatan baru dan strategi baru agar angka 7 persen ke atas bisa diraih.
Mengapa hanya untuk Ganjar dan Anies? Karena sebagaimana kita ketahui, Prabowo Subianto sudah tak berpikir apa-apa lagi soal strategi untuk memajukan Indonesia lantaran telah lantang menyuarakan untuk melakukan "copy paste" atas segala yang telah dilakukan Jokowi.
Jadi, fenomena middle income trap sebenarnya bukan isu baru dalam ekonomi pembangunan (development economics), terutama untuk Indonesia.
Dalam ekonomi pembangunan, pengalaman berbagai negara yang gagal menjadi negara industri, seperti negara-negara di kawasan Amerika Latin, menjadi pelajaran yang sangat penting, yang tentunya harus kita renungkan.
Menurut World Bank (2012), dari 101 negara middle income tahun 1960, hanya 13 negara yang berhasil mencapai high income countries tahun 2008, sebanyak 88 negara tidak beranjak dari middle income trap.
Sementara itu, menurut ADB (Asian Development Bank), pada 2010, dari 52 negara middle income countries, sebanyak 35 negara terjebak dalam status the middle income group, yang berarti negara-negara ini tetap terjebak kepada middle income trap, malah 30 negara di antaranya terjebak dalam lower middle income trap.
Lantas, bagaimana dengan peta peran yang akan diemban oleh generasi milenial?
Jika dikalkulasi secara kasat mata, pada 2030, para generasi milenial akan ada pada rentang usia 30-50 tahun. Dengan kata lain, generasi milenial adalah generasi yang sedang bercokol pada masa produktifnya saat Indonesia bertemu tahap bonus demografi.
Rentang umur 30-50 adalah rentang umur krusial, baik bagi generasi milenial yang duduk di bangku kekuasaan nantinya (eksekutif, legislatif, atau yudikatif), atau bagi yang sedang menjabat posisi strategis di korporasi-korporasi besar, atau yang berstatus pemilik (owner) di dunia usaha.
Pada rentang inilah terletak banyak tanggung jawab pengambilan keputusan penting, baik di pemerintahan, perusahaan/korporasi, atau di dunia usaha secara keseluruhan, yang akan berimbas besar terhadap bangsa Indonesia.
Pendeknya, jika hari ini negara Indonesia kurang berhasil dalam memfasilitasi generasi milenial untuk menjadi manusia Indonesia yang produktif, berkualitas, dan berdaya saing tinggi, maka saat bonus demografi tiba, rasanya petaka demografi memang akan ikut singgah di negara ini.
Namun jika generasi milenial mampu tampil sebagai manusia-manusia yang handal dan berdaya saing, berperan aktif menopang perekonomian nasional di segala lini, dan ikut menyiapkan landasan ekonomi yang kokoh untuk bertemu tahap bonus demografi, maka kemungkinan besar mayoritas dari jutaan angkatan kerja produktif era itu akan ikut mencicipi kemajuan perekonomian nasional dan berperan penting di dalamnya.
Walhasil, pertumbuhan 7-8 persen per tahun bukanlah hal yang mustahil. Dan peran tersebut bukanlah peran yang ringan.
Pertanyaannya, apakah generasi senior benar-benar telah melakukan segala hal dalam menyiapkan generasi milenial?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.