Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Bonus Demografi, "Middle Income Trap", dan Generasi Muda

Kompas.com - 27/08/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh karena itu, Indonesia harus benar-benar memanfaatkan sebaik mungkin periode emas tersebut.

Bila gagal memanfaatkan bonus demografi, Indonesia akan terus terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), yaitu negara dengan pendapatan per kapita per tahun di kisaran 2.500 dollar AS-13.000 dollar AS.

Bahkan, sangat mungkin Indonesia ‘turun kasta’ sebagai negara berpendapatan rendah (lower income) atau di bawah 2.500 dollar AS karena ekonomi nasional tidak mampu menyerap dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk angkatan kerja yang sedang mencapai puncaknya tersebut.

Sepanjang pengetahuan saya, itulah kondisi yang sering disebut para ekonom dengan istilah “Middle Income Trap”. Hal tersebut bisa terjadi jika laju pertumbuhan angkatan kerja baru jauh melampaui pertumbuhan ekonomi.

Dengan kata lain, di satu sisi daya serap ekonomi kita atas angkatan kerja baru sangat rendah bersamaan dengan kegagalan sistem ekonomi nasional menopang dunia pendidikan dalam melahirkan angkatan kerja berkualitas serta kompatibel dengan kebutuhan dunia usaha di sisi lain.

Bagi Negara Indonesia, isu middle income trap merupakan kajian yang sangat penting, karena Indonesia sebagai salah satu negara yang berstatus "emerging market" harus bisa keluar dari jebakan middle income masa depan.

Dalam kacamata ekonomi pembangunan (development economics) dan teori pertumbuhan ekonomi, isu middle income trap sudah banyak dibahas para ahli dan institusi-institusi keuangan global.

Asian Development Bank (ADB) dan World Bank (2012), misalnya, mendefinisikan middle income trap sebagai, “Countries stagnating and not growing to advanced country level”.

Para pakar mendefiniskannya, “Growth slowdown and stuck in the middle income status” (Gill and Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011).

Klasifikasi teknisnya pernah diinisiasi oleh Bank Dunia yang membagi negara-negara yang ada di muka bumi ini ke dalam empat kelompok. Pembagian ini didasarkan pada tingkat pendapatan nasional kotor (GNI-Gross National Income) per kapita.

Kelompok pertama adalah negara miskin atau low income countries dengan GNI hingga 1.035 dollar AS.

Kelompok kedua adalah negara lower middle income dengan GNI antara 1.036 dollar AS - 4.085 dollar AS.

Kelompok ketiga adalah upper middle income dengan GNI antara 4.086 dollar AS dan 21.615 dollar AS.

Kelompok keempat adalah negara-negara kaya (high income countries) dengan GNI per capita di atas 21.616 dollar AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Sampai tahun ini, posisi per kapita masyarakat Indonesia tercatat sekitar 4000-an dollar AS alias sudah berada pada lingkungan jebakan, yakni middle income country.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com