Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Henry MP Siahaan
Advokat, Peneliti, dan Dosen

Advokat, peneliti, dan dosen

Menimbang Wacana Bank Koperasi dari Menteri Teten

Kompas.com - 06/09/2023, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Merujuk pada UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN, keberadaan BUMN diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

Dengan kata lain, BUMN di satu sisi wajib menjalankan penugasan negara dan di sisi lain juga wajib mengelola bisnis dengan benar untuk meraih keuntungan.

Jadi jika BLU tersebut didorong menjadi bank, maka bank baru tersebut akan berperan seperti bank-bank BUMN yang kini ada, misalnya BRI, Mandiri, atau BNI.

Walhasil, layaknya ketiga bank BUMN tersebut, profesionalisme dan profit akan ada di daftar target utama operasionalnya, karena dana yang mereka kelola bersifat komersial.

Ketiga, target pasarnya masih sangat kecil di satu sisi dan akan bersaing dengan bank-bank di bawah BUMN yang sudah ada di sisi lain.

Sebagaimana data yang disebutkan Menkop UKM di atas, BLU LPDB melayani sekitar 400.000 koperasi. Sementara penguasaan pasarnya sampai Desember 2022 sekitar 28 persen.

Total outstanding kredit kepada koperasi oleh perbankan (bank umum & BPR/S) sebesar Rp 14,3 triliun. Outstanding dana bergulir LPDB sebesar Rp 4,1 triliun atau berkontribusi setara dengan 28 persen penyaluran kredit kepada koperasi dari total Rp 14,3 triliun.

Artinya, pasar pembiayaan untuk koperasi masih sangat kecil, hanya Rp 14 triliun. Jika itu harus dibelah lagi untuk bank baru seperti bank koperasi, maka akan membuat bank baru tersebut menjadi kurang "feasible" secara bisnis.

Kemudian, bank baru tersebut harus bersaing dengan bank BUMN yang selama ini sudah berkinerja baik dalam pembiayaan UMKM, yakni Bank Rakyat Indonesia.

Keempat, agak sulit mencari preseden dan referensi bank koperasi, jika ingin diterapkan di sini. Di China dikenal Rural Credit Cooperative (RCC) tahun 1980-1990-an, sebagai lembaga pembiayaan Town and Village Enterprises (TVEs), institusi ekonomi pengganti People Commune dan Brigade Enterprise warisan rezim Mao.

Lembaga pembiayaan tersebut diberi bantuan modal oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membantu People Commune dan Brigade Enterprise yang berorientasi kolektif menjadi Town and Village Enterprises yang berorientasi komersial pada era awal liberalisasi ekonomi China.

Namun bentuknya bukan lembaga perbankan, tapi koperasi, dan sifat organisasinya tidak terpusat seperti perbankan, tapi per daerah dan wilayah.

Bahkan hari ini di China, operasi RCC sudah nyaris tak ada lagi. Pembiayaan dari perbankan untuk usaha kecil dan menengah, termasuk koperasi, lebih banyak dilakukan oleh Bank Pertanian China (Agricultural Bank of China/ABC), satu dari empat bank BUMN raksasa China.

Padanannya di sini adalah Bank Rakyat Indonesia. Dan pembiayaan non perbankan dilakukan oleh fintech dan shadow banking, seperti Ant Financial dari Alibaba, misalnya.

Kelima, untuk bank, koperasi adalah pasar yang terlalu segmented atau terlalu terkonsentrasi di satu segment pasar. Karena itu, akan sangat berbahaya bagi suatu bank, terutama dalam keadaan ekonomi sedang kurang bergairah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com