Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Gejala De-Industrialisasi Semakin Nyata

Kompas.com - 11/09/2023, 08:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam 15 tahun terakhir, proporsi manufaktur Indonesia terhadap PDB termasuk yang terendah di ASEAN, dengan kontribusi sebesar 18,3 persen pada 2022, dibandingkan dengan 27,8 persen pada 2008. Penurunan ini lebih besar dibandingkan negara-negara seperti Malaysia dan Thailand.

Penyebab deindustrialisasi terutama penurunan angka produktivitas industri manufaktur.

Ditambah lagi dengan kenaikan biaya produksi, kesulitan mendapatkan bahan baku, kurangnya investasi di sektor manufaktur, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, dan masalah tantangan industrialisasi hijau yang mencakup penggunaan dan efisiensi energi.

Pentingnya Reindustrialisasi

Fakta yang lain adalah menurunnya kontribusi manufaktur (terhadap PDB) yang dulu di atas 20 persen sekarang hanya 18,2 persen.

Kontribusi tenaga kerja yang semula dari sektor pertanian ke industri, sekarang langsung ke sektor jasa. Disayangkan sektor jasa memiliki produktivitas lebih rendah.

Untuk mengatasi tantangan deindustrialisasi dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan, Indonesia harus memprioritaskan strategi industri yang komprehensif.

Hal ini mencakup menghidupkan dan menyegarkan kembali sektor manufaktur melalui investasi, dukungan kebijakan, dan membina lingkungan yang kondusif bagi inovasi dan daya saing.

Lawannya deindustrialisasi adalah reindustrialisasi. Reindustrialisasi tentunya harus dimulai dari hilirisasi, yakni mengaitkan antara produksi primer menjadi barang jadi bernilai tambah.

Indonesia sudah mulai kebijakan ini, namun baru sebatas pada barang tambang. Upaya hilirisasi perlu dilanjutkan komoditas pertanian seperti kepala sawit, rumput laut, kakao, hingga berbagai komoditas lainnya yang dimiliki Indonesia.

Di sisi lain, industri yang penting untuk dibangkitkan kembali, yakni industri kimia dasar, besi dan baja.

Belajar dari pengalaman negara lain, negara dengan perekonomian kuat memiliki struktur industri dengan basis industri kimia dasar, besi dan baja yang kokoh sebagai penopang industri dan sektor lainnya.

Kita memang sudah memulai dengan kebijakan hilirisasi sektor pertambangan. Sayangnya kebijakan yang dilaksanakan cukup kontroversial, yakni larangan ekspor.

Kebijakan larangan ekspor tidak hanya akan mengundang tindakan balas dendam dari negara lain, namun juga membuat ekspor tertekan.

Padahal Bank Indonesia sudah membuat kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang semakin agresif untuk memastikan hasil ekspor dimanfaatkan untuk perekonomian dalam negeri.

Larangan ekspor juga belum tentu akan memberikan dampak nilai tambah industri akan meningkat di dalam negeri.

Kebijakan hilirsasi nikel dan tembaga melalui larangan ekspor dan mengundang investor asing perlu ditinjau ulang dengan cermat kemanfaatannya dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk sebesar-besar kemakmuran perekonomian nasional.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com