Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Menimbang Hilirisasi SDA dan Ekonomi Berkelanjutan

Kompas.com - 19/09/2023, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAK ada salahnya bila kita merenungi, kenapa Arab Saudi membuka kota NEOM dengan investasi 500 miliar dollar AS? Keukeuhnya Muhammad Bin Salman (MBS) membangun NEOM, didasari pada ramalan bahwa minyak Saudi akan habis.

Ekonomi masa depan Saudi diarahkan ke sektor jasa berkelas dunia. Tak lagi bertumpu pada eksploitasi SDA.

NEOM menjadi kota masa depan Saudi--menjadi smart city. Semua terintegrasi menjadi internet of thing. NEOM memadukan ekonomi, energi, teknologi, dan lingkungan dalam desain ekonomi masa depan Saudi.

Saudi ingin keluar dari pakem ekonomi yang bertumpu pada cuan komoditas SDA/minyak. Selain searah dengan isu-isu ekonomi berkelanjutan, NEOM adalah bentuk diversifikasi ekonomi, menimbang 70 tahun ke depan, cadangan minyak Saudi akan cekak sebagaimana rilis Rystad Energy, perusahaan konsultan energi independen yang berbasis di Norwegia.

Setali tiga uang dengan Indonesia, ekonomi yang bertumpu pada eksplorasi SDA, sudah saatnya ditimbang-timbang.

Selain bersinggungan dengan rusaknya lingkungan, juga cadangan mineral perut bumi tersebut akan habis. Dus, harga yang dibayar untuk anak cucu ke depan juga bukan main mahal.

Belakangan, terasa sangat manis bila hilirisasi SDA itu diucapkan. Namun sejatinya, hilirisasi SDA tersebut, asimetris dengan pengarusutamaan ekonomi global—green economy atau sustainability economy.

Harapan akan mengatrol value added dari hilirisasi, namun itu belum tampak. Nyatanya kontribusi manufaktur terhadap PDB sektoral kita mangkrak di 18 persen. Terus turun dari era sebelumnya di 20 persen.

Kontribusi cekak, tapi biaya yang dibayar amat mahal—kerusakan lingkungan.

Lingkungan tercemar, populasi biota laut berkurang, bahkan ekspor ikan kita kedepan bisa di-banned negara luar akibat kandungan zat kimia melampaui ambang batas normal.

Daerah-daerah yang menjadi lumbung ikan nasional akan mengalami lack of productivity dari sisi hasil perikanan tangkap.

Dari rilis Narasi TV, ada 23 perusahaan Smelter Nikel di Indonesia, 21 di antaranya milik China. Di antara tambang-tambang tersebut, ada yang mendapat perlakukan khusus—selain insentif pajak yang diberikan pada proyek-proyek hilirisasi.

Sejumlah pembayaran praktik perusahaan pun menjadi sorotan. Ada beberapa perusahaan smelter asing tersebut ditetapkan sebagai objek vital nasional. Dijaga ketat aparat.

Mirisnya, menurut investigasi Narasi TV, ditengarai salah satu pabrik smelter Nikel di Pulau Obi-Halmahera, membuang limbah tailing ke laut. Dari beberapa sampel air dan ikan yang di uji lab di Jakarta, ternyata mengandung unsur nikel yang melampaui ambang batas normal.

Padahal, Halmahera adalah salah satu lumbung ikan nasional. Laut Halmahera termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 yang meliputi perairan Maluku Utara dan sebagian Papua.

WPP 715 memiliki potensi stok ikan sebesar 1,3 juta ton per tahun. Bila hal di atas tak dijaga dengan baik, kedepan populasi dan produksi ikan akan berkurang. Kontribusi sektor perikanan terhadap ekonomi akan terus menyusut.

Bila hilirisasi Nikel ini terjadi dalam jangka Panjang--dengan Amdal yang buruk, maka 20 atau 30 tahun yang akan datang, kota-kota di China menjadi hijau royo-royo, sementara lingkungan di Indonesia menjadi tercemar, buruk dan mematikan bagi komunitas lokal dan bagi generasi yang akan datang.

Mungkin sejenak, kita bisa belajar dari negara Nauru. Negara yang kaya raya akibat eksplorasi hasil SDA dengan PDB perkapita tertinggi tahun 1979 sebesar 27.000 dollar AS.

Namun setelah cadangan SDA-nya habis, Nauru terjerembab ke kubang kemiskinan. Kini, GDP perkapita Nauru 11.913,7 dollar AS atau turun hingga 55,8 persen—berdasarkan data Bank Dunia.

Kini Nauri bergantung pada bantuan luar negeri. Kini Nauru menghadapi environmental damage akut.

Dan mungkin kita perlu belajar dari Korea Selatan. Faktor budaya, telah memberikan dampak multiplier effect terhadap ekonomi Korsel. Efek derivatif dari K-Pop, telah membuahkan kontribusi ekonomi yang luar biasa kepada Korsel.

Tak dinyana, K-pop turut meningkatkan permintaan akan produk-produk Korea Selatan di luar negeri, seperti kosmetik, pakaian, makanan, dan elektronik.

Dari sumber Korea Customs Service, nilai ekspor produk budaya Korea Selatan mencapai 10,7 triliun won (sekitar Rp 139 triliun) pada 2019, naik 22,3 persen dari tahun sebelumnya.

Dan pada 2022, ekspor budaya Korsel telah memberikan kontribusi kepada PDB sekitar 1,4 persen atau sekitar 10,7 miliar dollar AS (Rp 164,2 triliun).

Tentu saja diversifikasi ekonomi seperti Korsel adalah langkah tepat agar ekonomi tak melulu bertumpu pada hasil komoditas SDA.

Indonesia yang multikultural, tentu saja bisa memberikan andil besar bagi ekonomi bila dirancang dengan dalam bagian dari roadmap ekonomi nasional.

Dari kota NEOM di Saudi hingga K-Pop Korsel, mengingatkan kita bahwa ekonomi yang berkelanjutan bisa dapat di-create dari sektor-sektor non-SDA.

Tentu saja kekayaan alam kita adalah tabungan/investasi masa depan. Tidak mesti dikuras habis saat ini, tanpa peduli kerusakan secara ekologis dan kehidupan generasi yang akan datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com