JAKARTA, KOMPAS.com - TikTok resmi menutup layanan dagangnya yakni, TikTok Shop pada Rabu, (4/10/2023).
TikTok Shop ditutup dilakukan menyusul pemerintah menerbitkan regulasi lewat Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Regulasi anyar ini salah satunya mengatur tentang pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.
Sosial commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa.
"PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya," bunyi Pasal 21 ayat (3).
Baca juga: TikTok Shop Diminta Segera Bereskan Kewajiban ke Seller, Affiliator, dan Konsumen
Artinya, jika TikTok tetap ingin berbisnis atau berdagang harus mendirikan entitas perusahaan barunya dalam bentuk e-commerce.
Terkait hal itu, Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (MenKopUKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari memaparkan ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan.
Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna.
Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.
"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," jelas Fiki dalam siaran persnya, dikutip Rabu (4/10/2023).
Baca juga: TikTok Shop Ditutup Hari Ini, Seller Diminta Beralih ke E-commerce
Alasan kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.
"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," kata Fiki.
Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.
Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.
Keempat, perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya.
Sebab media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.
"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," kata Fiki.
Baca juga: Syarat TikTok Shop Tetap Boleh Jualan di Indonesia
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.