Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 dan efek turunannya beberapa waktu lalu, bukan hanya disebabkan oleh kelihaian pemerintah dalam membuat kebijakan, namun ada faktor lain yang berada di luar kendali pemerintah dan sejatinya tidak bisa diklaim sebagai prestasi pemerintah.
Pascapecahnya perang Gaza beberapa hari lalu, ujian berat akan kembali dihadapi pemerintah. Pemerintah tentunya tidak boleh kembali mengandalkan faktor “keberuntangan” dalam menghadapi efek negatif perang Gaza karena bisa saja faktor keberuntungan tersebut tidak akan terulang untuk kedua kalinya.
Tidak bisa dipungkiri, perang Gaza akan semakin memperbesar eskalasi dinamika ekonomi politik global.
Risiko ekonomi akibat perang Gaza akan semakin memperbesar risiko ekonomi yang sebelumnya disebabkan perang Rusia dan Ukraina. Setidaknya terdapat dua ancaman besar yang harus dihadapi Indonesia pascameletusnya perang Gaza.
Risiko pertama yang akan muncul pascameletusnya perang Gaza adalah stabilitas harga pangan. Berkaca pada perang Rusia – Ukraina, harga pangan terkerek naik sebagai imbas dari merosotnya pasokan pangan dari kedua negara tersebut.
Fenomena ini bisa kembali terjadi setelah dimulainya perang Gaza. Perang Gaza bisa menimbulkan efek ketakutan (scarring effect) yang besar terutama di sekitaran wilayah teluk Arab.
Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa negara teluk akan kembali terseret pada perang yang tidak berkesudahan tersebut.
Efek ketakutan yang timbul dari perang Gaza tersebut bisa memicu kenaikan harga pangan global dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side).
Efek ketakutan perang Gaza bisa meningkatkan permintaan beberapa komoditas global seiring dengan ketakutan terhambatnya pasokan pangan global.
Dalam waktu bersamaan, supply komoditas-komoditas pangan akan turun sebagai respons dari kehatian-hatian untuk mendahulukan kepentingan negara masing-masing terutama negara-negara pemasok komoditas pangan.
Potensi kenaikan harga pastinya akan menjalar ke Indonesia sebagai negara pengimpor untuk beberapa komoditas pangan esensial.
Untuk Indonesia, risiko ketahanan pangan akan semakin besar seiring ketahanan pangan Indonesia yang masih relatif rentan.
Sebelum adanya perang Rusia dan Ukraina serta perang Gaza, Indonesia sudah memiliki masalah pangan yang bisa dikatakan cukup akut. Bahkan masalah pangan ini menjadi rutinitas tahunan yang selalu berulang.
Belum lama ini, masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga beras yang disebabkan turunnya pasokan beras sebagai dampak dari fenomena El Nino. Bahkan sampai saat ini harga beras belum kembali normal.
Selain beras, masyarakat juga selalu dihadapkan pada kenaikan harga beberapa komoditas pangan yang biasanya terjadi dalam waktu berdekatan dengan kenaikan harga beras.
Pada 2022, setidaknya tiga kali harga pangan di pasaran mengalami kenaikan, yaitu bulan Februari, April, dan Juni.
Komoditas yang mengalami kenaikan harga tersebut relatif sama di antaranya adalah cabai rawit merah, bawang merah, bawang putih, telur ayam, daging ayam, minyak goreng, kedelai, dan jagung.
Padahal komoditas-komoditas tersebut masuk ke dalam kelompok bahan pokok masyarakat yang menjadi kebutuhan dasar msayarakat.