Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
CIRCULAR ECONOMY

Bersama Mencari Solusi Masalah Sampah Plastik di Indonesia

Kompas.com - 25/10/2023, 09:02 WIB
Hotria Mariana,
Agung Dwi E

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencatat, jumlah timbulan sampah mencapai 34.459.748 ton per tahun pada 2022.

Dari jumlah tersebut, 17,8 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Sampah jenis ini juga menjadi yang terbesar kedua setelah sampah sisa makanan (40,8 persen).

Selain mengotori lingkungan, sampah plastik berpotensi menimbulkan bencana. Gorong-gorong bisa tersumbat sehingga mengakibatkan genangan air dan mendatangkan banjir.

Sementara, partikel terkecil dari sampah plastik yang terbuang ke laut dapat menyebabkan kerusakan biota. Bahkan, mikroplastik dapat membahayakan kesehatan manusia jika mengonsumsi ikan yang telah terpapar polutan tersebut.

Riset Litbang Kompas dan Net Zero Waste Management Consortium yang dilakukan di Medan, Sumatera Utara (Sumut); Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim); Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel); Denpasar, Bali; Surabaya, Jawa Timur (Jatim); dan DKI Jakarta pada 2022 berhasil mengidentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik dan mendapati 635 varian sampah plastik berbagai merek yang mengisi timbulan sampah.

Salah satu jenis sampah plastik yang menduduki posisi puncak dalam daftar Top 25 Sampah Plastik 6 Kota 2022 adalah serpihan plastik berbagai merek dengan jumlah 59.300 buah, kemudian disusul sampah plastik keresek dengan 43.597 buah.

Namun, jika sampah cup dan botol air minum dalam kemasan (AMDK) diakumulasi, jumlahnya melebihi kedua jenis sampah tersebut. Untuk sampah cup AMDK yang masuk daftar 25 terbesar saja, jumlahnya mencapai 131.927 buah.

Selain cup dan botol AMDK, jenis sampah plastik yang masuk daftar Top 25 Sampah Plastik 6 Kota 2022 meliputi botol minuman berpemanis dalam kemasan (BPDK), saset, bungkus tisu, bungkus mi instan, dan bungkus plastik biskuit.

Ada banyak faktor yang membuat permasalahan sampah plastik tak kunjung selesai. Salah satunya adalah pengelolaan sampah yang belum optimal di segala tingkatan, mulai dari rumah tangga, industri, kawasan wisata, kawasan komersial atau perbelanjaan, ruang publik, hingga pelapak.

Dalam riset disebutkan, penempatan (discharge) dan pengumpulan (collection) sampah terpilah belum efektif dilakukan. Begitu juga dengan edukasi publik untuk pengurangan sampah melalui penempatan dan pengumpulan sampah terpilah. Edukasi ini masih belum berjalan secara organik dan membumi.

Padahal, jika pengelolaan dilakukan dengan baik, sampah plastik bisa menjadi sumber daya bernilai ekonomi. Limbah tersebut dapat didaur ulang menjadi bahan baku berbagai produk dan kemasan plastik, seperti botol, tas, kursi, atau mainan. Selain itu, dapat pula disulap jadi bahan bakar alternatif, seperti gas metana, refuse derived fuel (RDF), dan bioetanol.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Kementerian LHK Vivien Rosa Ratnawati mengatakan, pihaknya mengapresiasi penelitian tersebut dan akan menggunakannya untuk meninjau roadmap pengurangan sampah.

Ia juga berharap, hasil penelitan itu dapat ditindak-lanjuti oleh para produsen dengan mengefektifkan roadmap pengurangan dan penanganan sampah kemasan yang masih bertebaran.

“Konsorsium penelitian juga diharapkan dapat membantu pendampingan program pengurangan sampah di lapangan,” ujarnya.

Tanggung jawab bersama

Untuk mengatasi sampah kemasan plastik di Tanah Air, perlu kerja sama dan tanggung jawab bersama dari semua pihak yang terlibat dalam siklus hidup sampah plastik, yaitu produsen, pemerintah, dan masyarakat.

Produsen sendiri harus bertanggung jawab atas produk dan kemasan yang dihasilkan dengan menerapkan prinsip extended producer responsibility (EPR) dan up-sizing.

EPR merupakan suatu kebijakan yang mewajibkan produsen untuk mengambil kembali produk dan kemasan yang sudah tidak digunakan oleh konsumen, serta melakukan pembatasan, pendauran ulang, dan pemanfaatan kembali sampah dari produk serta kemasan tersebut.

Penerapan EPR di Indonesia sudah diatur dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Sementara itu, up-sizing adalah sebuah strategi untuk meningkatkan ukuran produk atau kemasan sehingga mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan.

Strategi tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah. Dalam aturan ini produsen didorong untuk memproduksi kemasan plastik yang lebih besar (size-up) atau mengutamakan kemasan besar sehingga bisa membantu pemerintah mengejar target pengurangan timbulan sampah plastik.

Selain itu, produsen AMDK juga diminta untuk memprioritaskan pengurangan produk berkemasan mini menjadi lebih besar hingga ke ukuran 1 liter. Hal tersebut bertujuan agar pengelolaan dan daur ulang sampahnya lebih mudah.

Kemudian, pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan. Pemerintah daerah (pemda), misalnya, bisa menerbitkan peraturan-peraturan yang mendukung program pengurangan sampah di wilayahnya masing-masing.

Selain itu, pemda juga perlu menyediakan sistem dan infrastruktur yang memadai untuk program pengurangan sampah, seperti bank-bank sampah, fasilitas daur ulang, atau tempat pembuangan akhir (TPA) yang ramah lingkungan. Bila sudah tersedia, penggunaannya harus ditingkatkan agar memberikan solusi efektif bagi permasalahan tersebut.

Keberhasilan bank-bank sampah dan pola pemilahan sampah pada skala proyek percontohan pun harus segera direplikasi untuk skala yang lebih luas sehingga suatu saat dapat mencakup seluruh wilayah kota.

Pemerintah, produsen, dan retail juga perlu duduk bersama memaksimalkan strategi circular economy atau ekonomi sirkular yang genuine, tidak sekadar gimmicks.

Sebagai informasi, ekonomi sirkular adalah sebuah pendekatan untuk mengubah sistem produksi dan konsumsi agar lebih berkelanjutan dengan meminimalkan pemborosan sumber daya serta memaksimalkan nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Dengan strategi itu, produsen bisa mendesain produk dan kemasan yang lebih ramah lingkungan, mudah didaur ulang, dan bisa dimanfaatkan kembali. Selain itu, produsen juga bisa menyediakan fasilitas atau insentif bagi konsumen untuk mengembalikan atau menukar kemasan bekas produknya.

Sementara itu, tanggung jawab masyarakat atas permasalahan sampah kemasan plastik bisa dilakukan dengan menerapkan program reduce, reuse, dan recycle (3R).

Reduce berarti mengurangi konsumsi produk atau kemasan plastik yang tidak perlu atau sekali pakai, sedangkan reuse menggunakan kembali produk atau kemasan plastik yang masih layak pakai.

Recycle sendiri memiliki arti mengumpulkan dan mengembalikan produk atau kemasan plastik yang sudah tidak terpakai ke produsen atau fasilitas daur ulang.

Selain penerapan 3R, masyarakat juga harus meningkatkan kesadaran dan perilaku mereka dalam mengelola sampah kemasan.

Masyarakat perlu mulai membiasakan diri untuk mengurangi konsumsi produk dan kemasan yang tidak perlu atau berlebihan, serta menggunakan kembali kemasan produk yang masih layak pakai atau mengembalikannya ke produsen jika ada fasilitasnya.

Pemilahan sampah berdasarkan jenisnya juga mesti dilakukan untuk memudahkan proses daur ulang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com