Limitasi di atas sayangnya saling terkait, antara satu helix dengan helix lainnya. Model pentahelix dapat kita gunakan untuk rumuskan solusi yang relevan.
Helix pertama, Academia, ruang di mana pengajaran, penelitian dan pengabdian dilakukan. Agar tak bergantung pada minat personal, kita butuh aksi afirmasi Pemerintah.
Solusinya koperasi harus masuk dalam kurikulum pendidikan arus utama. Di sinilah peran utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pengawal sistem pendidikan di republik ini.
Kedua, Business, dalam hal ini adalah entitas koperasi. Koperasi-koperasi dapat berperan dalam dua hal, menyediakan data dan dana.
Koperasi perlu kooperatif dan terbuka ketika, misalnya, menjadi obyek riset tertentu. Di sisi lain, koperasi skala menengah dan besar, dapat menyediakan dana untuk riset atau produksi pengetahuan.
Credit Union (CU) dan Kopsyah Benteng Mikro Indonesia adalah contoh baik. Mereka beberapa kali terbitkan buku yang memperkaya khazanah perkoperasian kita.
Community, di Indonesia ada beberapa komunitas epistemik yang fokus pada koperasi. Ada Asosiasi Dosen dan Peneliti Koperasi (ADOPKOP), Asosiasi Dosen Ekonomi Koperasi dan Keuangan Mikro Indonesia (ADEKKMI), Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) dan lainnya.
Dengan ketangkasannya, komunitas epistemik ini dapat mendorong aneka kolaborasi yang melampaui birokrasi intra dan inter-institusi.
Keempat, Government. Tentu yang pertama dan utama adalah Kementerian Koperasi dan UKM. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun sistem open data perkoperasian.
Sebagai pembanding, tiap bulan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) rilis daftar LKM pada Direktori Industri Keuangan Non Bank (IKNB) pada website mereka.
Dokumen disediakan dalam bentuk excel yang memuat nama-nama LKM, status izin, wilayah dan nomor telp kantor. Belum lagi statistik umum kinerja masing-masing industri.
Bagi peneliti, itu sangat membantu. Data sejenis sayangnya belum tersedia cukup komprehensif pada pada website Kemenkop UKM.
Selain data, beberapa hal lain cenderung sudah tersedia. Hibah penelitian banyak disediakan baik melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau Kemendikbud.
Lalu juga ada platform kolaborasi riset dan pengembangan melalui Kedai Reka. Sehingga open data perkoperasian akan menjadi faktor pengungkit di antara faktor lain: dana hibah dan platform kolaborasi.
Terakhir, Media. Ada beberapa kanal yang tersedia. Pertama, beragam portal jurnal ilmiah yang sebagian tersedia cuma-cuma. Kedua, buku-buku yang dapat menjadi acuan. Ketiga, media massa.
Pada kedua dan ketiga, cenderung minor. Yang kedua membutuhkan kerja keras untuk menulis suatu buku dengan topik tertentu. Yang ketiga sesungguhnya lebih mudah, bagaimana akademisi mengartikulasi topik/isu yang relevan ke khalayak.
Peran intelektual publik para akademisi perlu ditingkatkan untuk memantik dan merangsang diskursus yang dapat diikuti khalayak umum.
Sehingga sains tak bersirkulasi pada ruang konferensi dan jurnal ilmiah belaka. Namun juga dapat diikuti oleh koperasi, Pemerintah, komunitas dan masyarakat pada umumnya.
Pertanyaannya, mengapa perlu mengembangkan sains koperasi? Secara normatif, visi ekonomi konstitusi Indonesia masih posisikan koperasi sebagai soko guru ekonomi.