Dalam paparannya, Budi menyampaikan beberapa aspek yang menjadi praktik rekayasa keuangan di industri perbankan maupun sektor keuangan dunia.
Pertama, penggambaran yang salah dan kurang transparan. Beberapa bank dan lembaga keuangan telah menggunakan rekayasa keuangan untuk menampilkan laporan keuangan yang menyesatkan, menciptakan ilusi kesehatan perbankan dan profitabilitas.
Contohnya menyembunyikan kerugian melalui Special Purpose Vehicle (SPV) dan menggunakan produk derivatif yang kompleks untuk menyamarkan risiko yang sebenarnya.
Kedua, mengeksploitasi investor ritel. Budi mengatakan, produk keuangan yang kompleks sering sulit dipahami oleh investor ritel. Beberapa institusi telah memanfaatkan ketidakpahaman ini untuk menjual produk berisiko atau produk yang tidak sesuai.
Baca juga: Kebijakan Cybersecurity untuk Sistem Keamanan Perbankan
Krisis keuangan tahun 2008 merupakan contoh nyata yaitu dengan penjualan obligasi utang yang dijaminkan (CDO) yang diisi dengan hipotek subprima.
Ketiga, manipulasi pasar. Rekayasa keuangan telah menjadi alat untuk manipulasi pasar melalui praktik seperti perdagangan dengan frekuensi tinggi.
Hal ini dapat mengubah dinamika pasar dan menguntungkan institusi perbankan besar dengan akses ke teknologi yang lebih canggih.
Keempat, arbitrase regulasi. Institusi perbankan kadang-kadang menggunakan rekayasa keuangan untuk menghindari regulasi dan institusi pengawasan.
Baca juga: OJK Terima 16.555 Aduan Masyarakat, Paling Banyak di Sektor Perbankan
Dengan memanipulasi produk dan struktur keuangan, mereka dapat meminimalkan persyaratan modal atau menghindari beberapa pembatasan hukum lainnya.
“Kelima dan yang cukup masif terjadi adalah teknik rekayasa keuangan yang dilakukan untuk mengurangi kewajiban pajak. Praktik seperti ini banyak terjadi di berbagai sektor bisnis, termasuk di perbankan dan industri keuangan global. Di Indonesia saya rasa juga akan mudah ditemukan praktik sejenis,” jelas Budi.