Tidak hanya kebijakannya yang harus inovatif dan transformatif, tetapi juga pemimpin kementerian perlu mendorong anggotanya untuk memiliki mindset melayani dan inovatif.
Supaya selalu ada pembaharuan ide di setiap kebijakan yang mampu menyelesaikan permasalahan rakyat Indonesia.
Terlebih, dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 mengenai Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 - 2025, diharapkan dua tahun mendatang, tercipta birokrasi yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Permen PAN/RB No. 3 Tahun 2023 menjelaskan lebih jauh tentang tujuan reformasi birokrasi. Setidaknya ada dua target yang diinginkan, yaitu terciptanya tata kelola pemerintahan digital yang efektif, lincah, dan kolaboratif, serta budaya birokrasi yang berAKHLAK.
Pelaksanaan sistem kerja dan pengelolaan ASN diatur oleh Peraturan Menteri PANRB No. 7/2022 tentang Sistem Kerja pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi.
Salah satu langkah yang harus diambil untuk menyederhanakan birokrasi adalah mendorong penggunaan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintah.
Sistem kerja secara mendasar diubah untuk menyederhanakan birokrasi. Ini memiliki kemampuan untuk mengubah cara pemerintah beroperasi, mengubah sistem yang sebelumnya bersifat berjenjang atau hierarkis menjadi sistem sederhana yang mengutamakan kerja tim yang berfokus pada hasil. Dari budaya struktural menjadi budaya inovatif.
Sistem kerja baru akan memungkinkan pejabat fungsional ditugaskan dengan fleksibilitas, perubahan, dan mobilitas sambil mengawasi kinerja mereka.
Namun demikian, menciptakan birokrasi dan tata kelola profesional dan berAKHLAK, kepemimpinan kementerian memiliki beragam tantangan, baik teknis maupun non-teknis.
Tantangan ini yang sekiranya menghambat pemimpin untuk lebih inovatif. Saya akan menjelaskan lebih dahulu tantangan non-teknisnya.
Tantangan non-teknis yang saat ini dihadapi adalah cukup banyaknya pegawai yang kurang produktif. Arif Fakrulloh, Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), menyampaikan bahwa masih ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak langsung bekerja saat sampai di kantor.
Tantangan seperti ini berkaitan dengan pola pikir dan kompetensi. Terkait pola pikir, mengutip Tempo, pada 2021 lalu Presiden Jokowi pernah mengungkapkan ini: “ASN bukan pejabat yang justru minta dilayani, yang bergaya seperti pejabat zaman kolonial dulu. Itu tidak boleh lagi, bukan zamannya lagi. Setiap ASN harus mempunyai jiwa untuk melayani, untuk membantu masyarakat.”
Dengan sikap ASN yang telah dipaparkan oleh Korpri, ini berarti bahwa masih terdapat ASN yang belum mengubah pola pikirnya.
Selain itu, menurut survei dari Badan Kepegawaian Negara tahun 2022, dari 3,9 juta PNS Indonesia, 34,57 persen ASN memiliki kompetensi rendah. Sedangkan, yang masuk dalam kategori ASN berprestasi hanya berjumlah 19,82 persen.
Hal tersebut menjadi tantangan, terutama bagaimana meningkatkan produktivitas ASN, sehingga semakin sedikit PNS yang memiliki kompetensi rendah.
Ditambah lagi, 38,8 persen ASN hanya menjadi petugas administratif, yang mempersulit Indonesia untuk membuat birokrasi kelas dunia.
Sedangkan apabila kita bicara tantangan teknisnya, koordinasi kebijakan antarkementerian menjadi tantangan pelik yang sampai saat ini belum selesai. Ada banyak contoh di mana setiap kementerian mengeluarkan pernyataan dan sikap berbeda-beda.
Misalnya hubungan antara naiknya harga beras dengan pembagian rice cooker gratis. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menghimbau masyarakat Indonesia untuk mengurangi konsumsi beras di tengah naiknya komoditas tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membagikan rice cooker gratis untuk transisi energi yang lebih bersih.
Contoh lain adalah pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Menurut temuan Ombudsman, salah satu alasan mengapa penyelenggaraan PPDB kurang maksimal adalah kurang optimalnya koordinasi antara kementerian terkait: Kemendagri, Kemkominfo, Kemendikbud-ristek, Kemensos, dan KemenPUPR.
Dua masalah ini bisa menjadi ilustrasi penting tentang tantangan teknis yang dihadapi kementerian. Kurangnya koordinasi dan pembiaran ego sektoral dapat memunculkan masalah-masalah yang bisa menjadi besar.
Biasanya masalah koordinasi muncul karena kurangnya komunikasi di anggota-anggota setiap kementerian. Alhasil, dari belum optimalnya komunikasi antar lembaga menyebabkan masalah muncul.
Dari segi kelembagaan, baik di bisnis, organisasi masyarakat, dan pemerintah, komunikasi memang sering menjadi tantangan tersendiri. Ada banyak dampak negatif akibat kurangnya komunikasi di antara anggota organisasi.
Menurut studi dari Grammarly berkolaborasi dengan The Harris Poll tahun 2023, kurangnya komunikasi menyebabkan menurunnya produktivitas (43 persen), melewatkan tenggat waktu (42 persen), dan menambah biaya (38 persen).
Sedangkan, risiko buruknya komunikasi membawa dampak lebih besar di dunia medis. Menurut Janagama, et al (2020), miskomunikasi saat serah terima pasien berkontribusi sekitar 80 persen kesalahan medis yang serius.
Konsekuensinya adalah miskomunikasi memainkan peran kunci dalam kematian lima juta pasien akibat buruknya kualitas layanan kesehatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Salah satu tantangan lainnya dalam kepemimpinan di kementerian adalah memfasilitasi efektivitas dan kesuksesan komunikasi antargenerasi (multi-generation communication gap) yang ada di lingkungan kerjanya.
Apalagi jumlah ASN yang berasal dari usia produktif semakin banyak. Dari 4,28 juta ASN, sebanyak 356.761 merupakan pekerja berusia 21-30 tahun.
Ini perlu pendekatan ‘multi-generation leadership approach” yang wajib dimiliki setiap pimpinan di kementerian.
Terlebih, generasi Milenial dan Gen Z memiliki perbedaan budaya kerja yang sangat kontras. Generasi saat ini mengedepankan teknologi sebagai alat utama untuk menunjang pekerjaannya sehari-hari.
Selain itu, Milenial dan Gen Z juga memiliki pemikiran global dan inovatif, serta memanfaatkan platform digital untuk berinovasi. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kepemimpinan di kementerian.
Kementerian memiliki peran vital untuk mengeksekusi visi presiden dan meningkatkan sektor strategis dan esensial.
Berbagai tantangan yang ada tentunya menjadi kesempatan bagi kepemimpinan kementerian untuk meningkatkan kinerja organisasi dan anggotanya, sehingga eksekusi kebijakan nasional berjalan lebih optimal.
Ada beberapa hal yang bisa pemimpin kementerian lakukan saat ini. Pertama, kita bicara tantangan teknis.
Tantangan teknis yang muncul saat ini bisa diminimalisasi apabila pemimpin menumbuhkan relasi leadership dan followership yang kuat. Kata kuncinya di sini adalah komunikasi yang lancar dan fleksibel antara pemimpin dan anggota.
Menurut studi dari Grammarly dan The Harris Poll 2023, kemampuan komunikasi yang lebih kuat membuat 62 persen responden merespon lebih cepat dan menciptakan persepsi yang lebih baik terhadap komunikator.
Selain itu, komunikasi yang kuat menimbulkan pengalaman kerja positif, di mana 56 persen akan merasa puas dengan pekerjaannya dan meningkatkan hubungan antar kolega.
Dampak komunikasi sebenarnya tergantung dari gaya atau pendekatan kepemimpinan. Akan tetapi, kepemimpinan transformatif berpengaruh positif terhadap pola komunikasi yang diterapkan.
Menurut Schiuma, et al (2021) kepemimpinan transformatif bertindak sebagai komunikator yang mampu menciptakan hubungan yang kuat antara pemimpin dan anggota.