Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pilpres dan Politik Kebijakan Industri

Kompas.com - 15/11/2023, 10:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH lanskap politik yang dinamis menjelang pemilihan presiden, inilah saatnya merefleksikan tantangan dan peluang perekonomian pasca-pemilu dan pilpres 2024.

Hal ini terkait kebijakan industri seperti apa yang seharusnya menjadi prioritas pemerintahan baru yang akan terpilih di tengah isu deindustrialisasi yang ramai diperbincangkan.

Penting untuk menyoroti pergeseran fokus terkait kebijakan industri. Dalam hubungan antara elite dan kapasitas teknokratik, kita tak bisa mengabaikan tantangan politik yang berdampak signifikan.

Menemukan ruang fiskal baru yang stabil, mencapai konsensus politik, serta mendapatkan legitimasi masyarakat merupakan komponen vital dalam ekosistem kebijakan industri, terutama dalam konteks demokrasi formal.

Oleh sebab itu, siapapun presiden terpilih semestinya memberikan penekanan lebih besar pada dinamika politik untuk memahami secara holistik implementasi kebijakan industri.

Kebijakan industri merupakan serangkaian intervensi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas lingkungan bisnis atau mengubah struktur aktivitas ekonomi menuju sektor industri tertentu yang menjadi prioritas.

Tujuannya, menciptakan peluang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

Lazimnya melibatkan berbagai instrumen, seperti hibah, subsidi, kredit pajak, pinjaman bunga rendah, jaminan publik, dan investasi ekuitas. Namun, perlu berhati-hati dalam melakukan intervensi menggunakan instrumen tersebut.

Pemerintah perlu memastikan bahwa intervensi benar-benar diperlukan dan bermanfaat bagi perekonomian.

Dengan demikian, kebijakan industri dapat dianggap sebagai proses "rekayasa institusional" untuk membentuk karakter industri yang kokoh sebagai mesin pertumbuhan dan tulang punggung perekonomian nasional.

Kebijakan industri memiliki kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dengan rentang sekitar 0,7-1,4 persen.

Instrumen keuangan, seperti subsidi dan insentif pajak, mendominasi implementasi kebijakan industri, yang umumnya difokuskan pada sektor-sektor khusus seperti manufaktur, energi, dan transportasi (Juhász, 2023).

Maka dari itu, presiden terpilih selanjutnya dihadapkan pada tantangan mengembangkan kebijakan industri yang lebih luas dan tak terjebak pada sektor tertentu.

Calon presiden Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto secara tegas menyatakan niat mereka untuk melanjutkan kebijakan industri yang diterapkan oleh Jokowi, termasuk hilirisasi industri dan larangan ekspor bahan baku.

Sementara itu, calon presiden Anies Baswedan mendukung hilirisasi yang sudah berjalan, tetapi menilai perlu adanya reindustrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih besar.

Sayangnya, tidak ada sektor industri unggulan lainnya yang dominan dalam rencana kerja ketiga capres tersebut.

Meskipun ide kebijakan perindustrian ketiganya relatif serupa dan telah diterapkan oleh pemerintahan saat ini, tantangan utamanya kini adalah membawa terobosan dan inovasi agar industri dalam negeri dapat memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian nasional (Kompas, 8/11/2023).

Namun, masalahnya fokus utama kontestasi politik saat ini terletak pada citra personalitas, bukan pada substansi kebijakan. Pandangan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ben Bland, biografer Jokowi.

Ini menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan industri akan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik internal dan kendala institusional.

Dengan ciri khas sistem politik demokratis Indonesia, di mana kabinet presidensial yang terfragmentasi, legislatif yang membatasi ruang gerak eksekutif, dan organisasi masyarakat sipil yang relatif lemah, presiden harus memperhatikan dinamika politik partai, konflik antarkementerian, dan respons opini publik.

Dengan begitu, keberhasilan kebijakan industri terkait erat dengan kemampuan presiden untuk mengelola kompleksitas politik dan berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan (Schlogl, 2021).

Di era demokrasi delegatif, yang ditandai dengan konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif dengan sedikit pengawasan dari lembaga legislatif atau masyarakat sipil, menciptakan tantangan dalam akuntabilitas horizontal.

Ini berdampak pada kebijakan industri yang tidak hanya bergantung pada persetujuan eksekutif, tetapi juga dukungan dari koalisi pemangku kepentingan yang luas.

Hal ini tercermin dalam Indeks Herfindahl partai yang rendah dalam pemerintahan saat ini yang menunjukkan fragmentasi kekuasaan di Indonesia, di mana tidak ada satu partai pun yang memiliki mayoritas absolut.

Dampak fragmentasi ini terlihat dalam kesulitan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR, seperti dalam rencana suntikan modal ke BUMN yang dikritik oleh partai oposisi.

Fragmentasi partai di Indonesia membuat siapapun presiden beserta kebijakannya, akan selalu berhadapan dengan proses negosiasi politik.

Pencapaian konsensus dengan berbagai partai politik menjadi kunci untuk mendapatkan dukungan dalam lingkungan legislatif yang terfragmentasi.

Selain itu, perhatian terhadap kepentingan beragam partai politik, termasuk yang mendukung atau menentang kebijakan industri, menjadi hal penting dalam perumusan kebijakan.

Pada 2004, indeks Herfindahl partai sebesar 0,52, yang menunjukkan bahwa kekuasaan legislatif terkonsentrasi di tangan beberapa partai besar.

Namun, indeks Herfindahl partai menurun menjadi 0,29 pada 2021 dan diperkirakan akan terus turun menjelang pemilu 2024. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan di DPR kini tersebar di banyak partai (Scartascini, 2021).

Dalam mengelola berbagai kepentingan politik, pemerintah seharusnya menghindari kesalahan dari kebijakan industri lama yang bersifat selektif-reaktif.

Artinya, saatnya kebijakan industri fokus pada subsidi pasar produk (produsen), bukan pada subsidi konsumen.

Implementasinya bisa melalui kebijakan industri “lunak” (soft industrial policy) yang bersifat fasilitatif dan koordinatif.

Hal ini bertujuan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, industri, dan swasta, menetapkan prioritas strategis, mengatasi masalah koordinasi, dan meningkatkan produktivitas (Cherif, 2022).

Pendekatan ini, mencakup kebijakan simbiosis klaster industri, promosi investasi, pengadaan publik, dan pertumbuhan hijau, memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi daripada intervensi selektif-defensif yang lebih mahal dan distorsif.

Strategi kebijakan industri “lunak” ini juga dapat mengurangi risiko KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta sejalan dengan perjanjian perdagangan internasional yang diterapkan oleh banyak negara berkembang.

Selain itu, ada sektor-sektor di mana negara sudah memiliki keunggulan komparatif yang jelas berdasarkan faktor endemik atau pengalaman, seperti pertanian, perikanan, industri padat karya, atau pariwisata.

Pada sektor-sektor ini, presiden terpilih seharusnya tidak berlebihan menggunakan kebijakan industri “intervensionist” (hard industrial policy), mencakup rangkaian subsidi, proteksi, dan regulasi.

Jika sektor-sektor ini benar-benar diakui memiliki keunggulan komparatif, artinya mereka dapat bersaing secara efektif tanpa campur tangan pemerintah yang berlebihan.

Peran pemerintah yang terlalu aktif dalam sektor ini justru dapat menciptakan distorsi dan hambatan bagi kompetisi dan menciptakan peluang untuk berkembangnya kronisme (memberikan proyek, keuntungan, atau perlakuan khusus kepada teman atau keluarga, tanpa memperhatikan merit atau kualifikasi).

Dengan memberi ruang kepada pasar untuk beroperasi tanpa intervensi berlebihan, kompetisi dapat berkembang dan mendorong efisiensi ekonomi.

Pada saat yang sama, pemerintah perlu fokus membangun kapasitas untuk sektor-sektor yang berpotensi menjadi unggulan pada masa depan, seperti sektor manufaktur berbasis teknologi tinggi, sektor jasa berbasis teknologi, dan sektor ekonomi kreatif.

Intervensi pemerintah diperlukan dalam sektor-sektor ini, termasuk dukungan melalui subsidi, keterlibatan BUMN, atau kredit terarah, untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Sektor-sektor ini diharapkan dapat berkembang dengan baik jika masalah utama kegagalan pemerintah dapat diatasi dengan ketersediaan barang publik yang memadai.

Dengan kata lain, fokusnya seharusnya pada kebijakan horizontal yang mencakup dukungan pada infrastruktur dan layanan yang memberikan dampak secara umum.

Contoh konkret, Indonesia diakui dunia memiliki keunggulan komparatif dalam industri pariwisata.

Dalam hal ini, pendekatan kebijakan horizontal dapat melibatkan investasi dalam infrastruktur jalan dan transportasi untuk memudahkan akses ke destinasi wisata, listrik yang memadai untuk mendukung layanan di area wisata, serta peningkatan keamanan dan fasilitas bandara untuk menarik lebih banyak wisatawan.

Dengan fokus pada kebijakan horizontal, pemerintah tidak perlu secara langsung mengintervensi sektor pariwisata dengan memberikan subsidi, insentif, atau kepemilikan langsung.

Sebaliknya, upaya difokuskan pada menciptakan lingkungan umum yang mendukung dan meningkatkan sektor tersebut secara keseluruhan.

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa keunggulan komparatif alamiah sektor pariwisata akan muncul secara positif jika kondisi umum mendukung pertumbuhan dan pengembangan industri tersebut.

Pada akhirnya, kita tidak hanya fokus meningkatkan kuantitas wisatawan, tetapi juga fokus membenahi kualitas pariwisata.

Perlu diingat, pemerintah berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pengambil risiko aktif. Kita bisa belajar dari industri otomotif di Korea, industri semikonduktor di Provinsi Taiwan, dan industri pesawat terbang di Brasil (Embraer) dianggap tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1960-an dan 1970-an.

Namun, semua sektor ini ternyata sektor komersial yang sangat besar dan menyumbang sebagian besar ekspor mereka. Ini berkat politik dan strategi pick the winners yang tepat.

Keberhasilan sektor-sektor ini melibatkan keberanian dalam mengambil risiko, penekanan pada pengembangan teknologi, dan dorongan politik yang kuat dalam menghadapi persaingan di pasar domestik dan internasional.

Ini menunjukkan bahwa pengembangan sektor industri unggulan memerlukan konsistensi dukungan politik dan komitmen jangka panjang pemerintahan yang akan datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com