JAKARTA, KOMPAS.com - Stigma “apa pun serba mahal di SCBD” ternyata tidak sepenuhnya benar. Masih ada "hidden gem", tempat makan yang masih menawarkan harga makanan yang relatif ramah kantong di kawasan bisnis Jakarta itu.
Tempat tersebut yaitu Kantin Kopkar atau Koperasi Karyawan BEI di basement atau P1 Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI). Harga makanan di tempat ini masih ada yang di bawah Rp 20.000 per porsi, bahkan sudah gratis dapat air putih juga.
Oleh karena itu, kantin ini bisa menjadi alternatif bagi karyawan atau pengunjung yang ingin berhemat.
Baca juga: Lokasi Jadi Faktor Moncernya Bisnis F&B, Benarkah?
Sanip (50), salah satu pedagang rawon dan tongseng yang berjualan di Kantin Kopkar, menceritakan kesannya setelah 5 bulan berjualan di SCBD, terutama di Gedung BEI yang merupakan pusat pengelolaan pasar saham di Indonesia.
Berjualan di gedung perkantoran seperti BEI memang punya daya tarik tersendiri di bandingkan lapak pinggir jalan. Sebab menurut Sanip, pembelinya atau target pasarnya sudah jelas yaitu para karyawan.
Saat ini setiap harinya, ia bisa menjual 20-30 porsi rawon atau tongseng dengan harga per porsinya Rp 25.000. Dengan hasil itu, ia bisa dapat omzet sekitar Rp 15 juta per bulan.
Baca juga: Kisah Mantan OB dengan 1.000 Gerai Waralaba
Namun, Sanip punya tantangan. Baginya, tantangan terbesar berjualan di SCBD adalah biaya sewa yang tidak bisa dibilang kecil. Setiap bulannya, ia harus membayar sewa Rp 3 juta untuk tempat berjualan yang berukuran sekitar 3x3 meter.
Meski sudah dilengkapi listrik, namun untuk mencuci piring, lokasinya berada di luar kantin. Selain itu, masak harus pakai kompor listrik. Penggunaan kompor gas dilarang.
Sanip bilang, dengan biaya sewa Rp 3 juta per bulan itu, ia masih mendapatkan profit walaupun tidak besar.
“Kita terbentur di biaya sewa, ya kalau misalnya di luar mungkin bisa ratusan ribu. Tapi kalau di sini enggak dapat segitu,” ujar pria yang memiliki 2 anak yang masih sekolah tersebut.
Baca juga: Kisah Sukses Mi Udon Takaya Awata, Jadi Miliarder Usai Drop Out Kuliah
Selain biaya sewa yang mahal, pendapatan Sanip juga tergerus biaya produksi yang juga tinggi. Maklum saja, harga-harga pangan sudah naik sejak jauh-jauh hari. Hal itu membuat biaya produksi Sanip juga ikut bengkak.
Menurutnya, teman-temannya sesama pedagang juga mengalami hal yang sama.
“Biaya sewa kalau kita bandingin dengan bisnis kita ya berat. Teman-teman di sini juga mengalami hal sama. Mereka mengalami penurunan omzet, terutama mereka yang mulai berjualan saat Covid-19 di mana saat itu jumlah tenan masih sepi,” jelasnya.
Di sisi lain, opsi untuk menaikan harga makanan juga sulit dilakukan. Sanip khawatir hal itu justru membuat pelanggannya kabur mencari tempat makan lain.
“Kalau kita kasih harga terlalu tinggi juga berat ya. Keuntungan rata-rata kita per hari juga enggak bisa dipukul rata, kadang ramai dan kadang juga sepi, enggak tentu,” ujar dia.
Baca juga: Kisah Sukses Wang Xiaokun Jadi Miliarder berkat Jualan Milk Tea
Meski sadar betul besarnya tantangan berjualan di SCBD, tapi Sanip sudah terlanjur jatuh cinta dengan dunia kuliner. Ia sudah makan asam garam karena sudah berada di bidang itu selama 30 tahun.
Sebelum jadi pedagang, Sanip sempet berkerja di bagian produksi salah satu perusahaan F&B ternama untuk hotel, katering, dan sentral produksi. Namun tahun ini, Sanip berhenti kerja di perusahaan tersebut.
Ketertarikan Sanip di dunia kuliner sudah ada sejak kecil. Ia mangatakan sudah suka memasak sejak kecil. Oleh karena itu, meskipun bukan lulusan SMK Tata Boga atau anak koki, ia percaya diri untuk membuka usaha kuliner di usianya yang sudah tidak muda ini,
Baca juga: Ini Kisah 2 UMKM yang Berhasil Tingkatkan Omzet dan Masuk Pasar Ekspor
“Saya sudah kerja di bidang kuliner selama lebih dari 30 tahun. Saya mengambil usaha berjualan ini, pertimbangannya karena produktivitas manusia semakin lama semakin berkurang. Dengan usia saya sekarang, saya masih kuat dengan keahlian saya saat ini kenapa tidak saya coba berwirausaha,” ujarnya.
“Sejauh ini untuk kebutuhan rumah tangga, memang dari bekerja income-nya lebih besar. Tapi untuk jangka panjang ke depan, kita masih berusaha untuk mensiasati kondisi ini agar bisa bertahan,” sambungnya.
Sanip sudah melihat banyak temannya yang juga pedagang mengakhiri perjuangannya sebagai pedagang makanan di Kopkar.
Baca juga: Kisah Sukses Toto Sugiri, Orang Terkaya Ke-23 di RI yang Sempat Jadi Sopir Taksi
Menurutnya, banyak tenan datang dan pergi, karena pendapatan yang dihasilkan tidak mampu menutupi biaya-biaya untuk melanjutkan usaha.
Meski begitu, Sanip meyakini kesuksesan di dunia kuliner tak bisa datang instan. Oleh karena itu, ia masih teguh berdiri sebagai padagang makanan.
“Tapi memang orang usaha tidak langsung sukses, kita harus punya prinsip dan konsistensi,” kata dia sambil tersenyum.
Bahkan diusaha yang masih seumur jagung itu, Sanip memberanikan diri melebarkan usaha kulinernya dengan menyewa beberapa tempat berjualan di beberapa gedung perkantoran lain di Jakarta, yakni di Menara BNI dan Equity Tower.
Agar usahanya berjalan, ia juga mempekerjakan 3 orang untuk mengelola usahanya. Di dua lokasi tersebut, Sanip berjualan pecel lele, pecel ayam, dan rawon.
Baca juga: Kisah Sukses Sunandar, Berjualan Sandal Hingga Thailand bersama Shopee
Sanip juga tidak kalah dalam upaya mendukung bisnis berkelanjutan dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan, termasuk food waste. Melalui pengalamannya di bisnis F&B, Sanip juga turut menjaga lingkungan dengan meminimalisir dan mengelola sisa makanan.
Melalui strategi yang ia terapkan dalam usaha kulinernya, Sanip berupaya untuk mengurangi jumlah makanan terbuang.
Misalnya memastikan takaran per porsi dengan standar, melakukan analisa kecil mengenai jumlah posri untuk pelanggannya, dan membawa bahan makanan secukupnya dan tidak berlebihan.
“Saya sudah membuat porsi dari rumah, saya juga konsisten dengan rasa, dan volume. Saya juga siasati gimana caranya, saya kalau bikin base itu sekaligus. Menu saya kan kuah semua, kita harus konsisten dengan bahan bakunya, dan harus sesuai juga,” jelasnya.
“Jadi dengan menerapkan strategi yang saya pelajari selama 30 tahun di bisnis F&B, saya tidak memiliki waste bahan terbuang,” tambah dia.
Baca juga: Kisah Teuku Markam, Juragan Aceh Penyumbang 28 Kg Emas di Puncak Monas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.