Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Rafi Bakri
PNS BPK

Analis Data dan Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan

Indonesia Terlalu Prematur Mengalami "Greenflation"

Kompas.com - 25/01/2024, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT salah satu kandidat wakil presiden pada debat pamungkas Cawapres (21/1), negara yang sedang berupaya menurunkan emisi karbon mengalami inflasi pada sektor tertentu. Fenomena ini dikenal sebagai greenflation.

Ironisnya, inisiatif untuk menurunkan suhu permukaan bumi berujung pada pemanasan perekonomian.

Jadi, bagaimana greenflation dapat memengaruhi perekonomian suatu negara, dan apa sebenarnya dampaknya?

Greenflation adalah lonjakan harga bahan mentah dan energi yang disebabkan kebijakan transisi energi hijau. Tembaga, litium, kobalt, nikel, dan grafit dibutuhkan dalam proyek-proyek ramah lingkungan.

Nikel umumnya digunakan sebagai bahan kimia dalam membuat baterai lithium-ion (LIB) untuk kendaraan elektronik (EVs).

EVs membutuhkan bahan baku mineral enam kali lebih banyak dibandingkan kendaraan konvensional. Tingginya permintaan mineral menimbulkan demmand-pull inflation.

The International Energy Agency (IEA) memperkirakan jumlah EVs akan meningkat hingga 145 juta pada 2030. Kebutuhan baterai akan terus meningkat pada masa mendatang, meskipun jumlah tersebut hanyalah sebagian kecil dari sekitar 1,2 miliar mobil yang ditenagai oleh baterai internal.

Tidak mengherankan, komoditas yang digunakan untuk membuat baterai mengalami kenaikan harga yang tajam karena faktor-faktor ini.

Namun, apakah greenflation merupakan ancaman nyata terhadap perekonomian Indonesia?

Fase transisi ekonomi hijau di Indonesia mengalami stagnasi dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya, Indonesia menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 25 persen pada 2025. Namun, target ini disesuaikan menjadi 23 persen pada 2025.

Pada Q3 2022, porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer menurun menjadi 10,4 persen, sementara pangsa batu bara meningkat ke angka tertinggi sepanjang masa sebesar 43 persen. Kondisi ini membuat target tahun 2025 tampaknya semakin sulit tercapai.

Keterbatasan finansial juga membuat transisi ini sulit dilaksakan oleh Indonesia. Untuk menghentikan armada batu bara Indonesia yang berkapasitas 9,2 GW, Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan diperlukan dana sebesar 4,6 miliar dollar AS.

Menurut analisis lain yang dilakukan Transition Zero, rata-rata biaya penghentian awal PLTU di Indonesia adalah 1,2 miliar dollar AS per GW.

Di luar apa yang disebutkan dalam RUPTL 2021–2030, IESR (2022) memperkirakan bahwa infrastruktur energi terbarukan memerlukan tambahan dana sekitar 116 miliar dollar AS untuk dibangun pada 2030, atau 35 miliar dollar AS per tahun.

Lebih parahnya, rata-rata keberhasilan pemenuhan target RUPTL hanya 46,13 persen selama satu dasawarsa terakhir.

Hal ini diungkapkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2023.

Selain itu, terdapat 12 proyek berkapasitas 177 MW yang ditunda, serta terdapat permasalahan penyelesaian 15 proyek berkapasitas 336,8 MW yang tidak dilanjutkan.

BPK telah menerbitkan 16 temuan audit dengan 18 isu ketidakefektifan sehingga mendesak kementerian/lembaga koordinator untuk segera memperbaiki dan menindaklanjutinya.

Dari hal-hal di atas, peralihan struktur ekonomi Indonesia ke ekonomi hijau masih terlalu jauh dari harapan. Indonesia perlu berbenah dan mempersiapkan diri untuk mampu melaksanakan transisi ini.

Oleh karena itu, fenomena greenflation yang terjadi di negara-negara maju belum menjadi isu yang signifikan bagi Indonesia.

Climateflation dan fossilflation

Pemerintah lebih baik jika bersiap menghadapi climateflation dan fossilflation yang akan datang dibandingkan terpaku pada isu-isu yang belum terjadi.

Beberapa komoditas di Indonesia mengalami kenaikan harga yang disebabkan oleh kedua bentuk inflasi tersebut.

Climateflation adalah inflasi yang disebabkan peristiwa cuaca ekstrem yang mengacaukan rantai pasokan industri yang bergantung padanya.

Beberapa komoditas berada dalam bahaya karena pemanasan global dan perubahan cuaca. Kondisi ini akan berdampak signifikan terhadap industri perikanan, pertanian, energi, dan pariwisata.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tiga komoditas utama penyumbang inflasi terbesar di Indonesia adalah beras (0,53 persen), cabai merah (0,24 persen), dan rokok kretek (0,17 persen).

El Niño yang berkepanjangan menimbulkan permasalahan besar bagi industri pertanian sepanjang 2023. Akibatnya, inflasi pangan yang tidak dapat diprediksi mencapai 6,73 persen year-over-year pada 2023.

Berikutnya, fossilflation menyiratkan inflasi yang disebabkan kontraksi pasokan bahan bakar fosil yang tidak sebanding dengan upaya memenuhi permintaan. Hal ini memberikan tekanan pada biaya bahan bakar fosil.

Ketika investor institusional di pasar keuangan mengurangi eksposur mereka terhadap perusahaan bahan bakar fosil, biaya pendanaan akan meningkat.

Meningkatnya harga bahan bakar adalah dampak paling nyata dari inflasi bahan bakar di Indonesia. Subsidi sebesar Rp 502 triliun atau 17,9 persen total belanja negara pada 2022 sejauh ini telah diberikan oleh pemerintah.

Akibat kenaikan ini, pemerintah menghapuskan beberapa subsidi bensin sehingga terjadi kenaikkan harga bensin.

Harga Pertamax mencapai Rp 13.500/liter pada 1 Januari 2024, sedangkan harga Pertalite mencapai Rp 10.000/liter. Sejumlah industri akan merasakan efek domino negatif dari kenaikan bahan bakar tersebut.

Selain itu, eksportir batu bara Indonesia tertarik untuk menjual komoditasnya ke luar negeri karena tingginya harga batu bara secara global.

Indonesia menjual 4 juta ton batu bara ke Eropa dengan harga 308 dollar AS per ton pada 2022. Lonjakan ekspor batu bara ini tentu berbahaya bagi cadangan batu bara Indonesia.

Jika tidak dikendalikan, maka pasokan batu bara di Indonesia akan semakin menipis sehingga mengakibatkan terjadinya fossilflation di Indonesia.

Sebelum kondisi ini lebih parah, pemerintah harus bergegas mengambil tindakan untuk mencegah climatflation dan fossilflation. Dua jenis inflasi ini menjadi tantangan nyata, baik pada ekonomi konvensional maupun transisi menuju ekonomi hijau mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com