Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Kebijakan Moneter Menghadapi Inkonsistensi Waktu

Kompas.com - 26/01/2024, 13:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian, sesuatu yang kita hadapi secara kontinyu dalam hidup sehari-hari adalah masalah ketidakkosistenan waktu.

Semua itu adalah tentang inflasi, tingkat suku bunga, dan prospek ekonomi yang kedepan jalannya masih bergelombang.

Beberapa lembaga internasional telah merilis outlook terbarunya. Bank Dunia, IMF, maupun OECD memprediksikan pertumbuhan ekonomi global, termasuk Indonesia dan negara-negara mitra utama Indonesia lebih rendah dibandingkan prediksi sebelumnya.

Hal ini disebabkan ketidakpastian global yang disertai oleh berbagai tantangan.

Pertumbuhan global diperkirakan akan melambat lebih lanjut tahun ini, di tengah dampak dari ketatnya kebijakan moneter, kondisi keuangan yang ketat, serta lemahnya perdagangan dan investasi global.

Risiko-risiko negatif terhadap prospek termasuk eskalasi konflik baru-baru ini yang terjadi di Timur Tengah menyebabkan semakin dinamisnya ekonomi global.

Faktor penghambat lainnya adalah gangguan pasar komoditas terkait, tekanan keuangan di tengah meningkatnya utang dan biaya pinjaman yang tinggi serta inflasi yang terus-menerus naik.

Sedangkan aktivitas ekonomi lebih lemah dari yang diperkirakan di Tiongkok, fragmentasi perdagangan, dan bencana yang berkaitan dengan iklim semakin mencuat.

Prospek perekonomian Indonesia secara keseluruhan mempunyai risiko-risiko negatif, terutama yang berasal dari luar Indonesia.

Yaitu suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu lebih lama di negara-negara besar, dapat membebani permintaan global, meningkatkan biaya pinjaman, dan mempersulit peminjaman di pasar dunia. Ketidakpastian geopolitik global dapat mengganggu rantai nilai ekonomi yang ada.

Untuk Indonesia pada anggaran Negara tahun fiskal 2023, saya melihat pencapaian yang tangguh dengan pendapatan pemerintah +5 persen YoY (105 persen dari target), sementara belanja +0,8 persen (100 persen dari target; melonjak pada Desember-2023).

Hal ini menyebabkan defisit lebih rendah dari perkiraan, yakni sebesar -1,65 persen dari PDB.

Penerimaan pajak +5.9 YoY, mencapai 10,2 persen PDB. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) naik +1.7 persen (118 persen dari target) meskipun harga komoditas lebih rendah.

Semua ini karena didukung kenaikan tarif royalti batu bara dan dividen dari BUMN. Menariknya, belanja jaring pengaman sosial turun -3,7 persen YoY menjadi Rp 443 triliun.

Kondisi Indonesia saat ini, ekspektasi inflasi jangka panjang secara umum masih tetap terjaga, sehingga menujukkan masyarakat luas sangat memercayai kebijakan Bank Indonesia, untuk menurunkan inflasi ketingkat sasarannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com