Sebagai pegiat energi berkelanjutan, Safti banyak menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan jejak karbon dan solusinya. CCS pun menurutnya bukan solusi jangka pendek, sebab praktiknya tak bisa diburu-buru tanpa studi menyeluruh.
“Saat ini yang lebih kita butuhkan adalah percepatan transformasi industri energi yang bersih,” tegasnya.
Baca juga: Luhut Targetkan RI Bisa jadi Hub Regional Penangkapan dan Penyimpanan Carbon
Meski demikian, Safti yakin bahwa hal itu tak akan mewujud bila tak ada kesadaran. Untuk membangun kesadaran, Safti mengajak masyarakat untuk melihat lebih jauh risiko dari jejak karbon yang telah dihasilkan manusia.
Perlu diketahui, hampir seluruh aktivitas manusia menimbulkan jejak karbon atau juga dikenal dengan gas emisi buang.
Aktivitas sederhana sekalipun, seperti mengonsumsi makanan, dapat menghasilkan gas emisi. Terutama, jika makanan yang dikonsumsi berpotensi menjadi gunungan sampah.
Kata Safti, jejak karbon yang dihasilkan pun tak dapat dihitung sesederhana kita melihat besar kecilnya ukuran makanan tersebut.
Baca juga: BEI Luncurkan IDX LQ45 Low Carbon Leaders, Ini Daftar Emitennya
Lebih jauh dari itu, jejak karbon mulai dihitung sejak produk makanan dibuat, mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, pengemasan, distribusi menggunakan alat transportasi, hingga sampai pada tangan kita. Dalam jumlah banyak, gas emisi bisa menghasilkan dampak buruk.
Adapun kekeringan, meningkatnya suhu bumi, kekurangan air bersih, timbulnya cuaca ekstrem, dan bencana alam merupakan risiko dari gas emisi yang dihasilkan segala aktivitas manusia.
Kata Safti, dampak-dampak buruk itu sudah di depan mata dan juga mulai dirasakan masyarakat. Tanpa kesadaran untuk beralih pada energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, risiko yang lebih buruk lagi akan membayangi kehidupan di masa depan.