MENJELANG pemilu 2024, banyak sekali janji manis pemerintah guna menarik perhatian masyarakat. Salah satunya penerapan kebijakan single salary pada Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kebijakan ini bertujuan memangkas gap gaji dan tunjangan antarkementerian maupun antardaerah. Tentu saja janji ini sangat cocok untuk menggaet ASN yang mayoritas masuk ke dalam masyarakat kalangan menengah.
Meski demikian, masyarakat mempertanyakan kelayakan penerapan kebijakan single salary. Apakah single salary sudah tepat untuk mengatasi ketimpangan dan disparitas gaji ASN saat diterapkan?
Awalnya, penerapan kebijakan single salary akan meningkatkan belanja pegawai dalam APBN dan daerah. Sebab, gaji pegawai dapat meningkatkan remunerasi ASN sehingga menambah beban fiskal yang ditanggung negara.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, alokasi belanja pegawai pada APBD 2023 diperkirakan sebesar Rp 426,78 triliun atau 33,2 persen keseluruhan belanja.
Pos ini memiliki jumlah terbesar dalam APBD, melampaui belanja barang dan jasa (28,75 persen), belanja modal (16,57 persen), dan belanja lain-lain (21,48 persen).
Kondisi ekstrem tersebut juga terjadi di pemerintah level daerah. Berdasarkan data APBD 2022, Jawa Timur mempunyai belanja pegawai paling besar. Nilainya mencapai Rp 40 triliun atau mencakup 32,2 persen seluruh belanja daerah.
Sebaliknya, Kalimantan Utara hanya melaporkan belanja pegawai sebesar Rp 3 triliun. Dari segi belanja pegawai, Kalimantan Utara merupakan provinsi yang paling boros dibandingkan provinsi lain dengan belanja per kapita sebesar Rp 3.178.000.
Papua Barat dan Papua berada di peringkat belakang, dengan pengeluaran per kapita masing-masing sebesar Rp 3.642.000 dan Rp 2.971.000.
Ditelusuri lebih lanjut, daerah dengan belanja pegawai per kapita tinggi mempunyai tingkat kemandirian fiskal rendah.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK (2019), hanya delapan provinsi yang bisa dikatakan mandiri secara fiskal. DKI Jakarta memiliki tingkat independensi tertinggi, yaitu pada peringkat 0,71.
Meskipun Kalimantan Utara memiliki belanja pegawai per kapita yang sangat besar, tetapi tingkat kemandirian fiskalnya hanya sebesar 0,25.
Selain itu, perlu dicatat bahwa rata-rata indeks kemandirian fiskal pada tingkat provinsi di Indonesia berada pada angka 0,36, sedangkan pada tingkat kabupaten/kota hanya sebesar 0,11.
Penerapan single salary dapat mengakibatkan peningkatan belanja pegawai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Keadaan ini membuat keuangan publik tidak tepat guna karena sebagian besar dana tersebut tidak disalurkan kepada masyarakat. Hanya ASN yang diuntungkan dari belanja pegawai.
Jika diterapkan secara ideal, maka konsep keuangan publik akan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan ASN, kebijakan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru bagi kondisi makroekonomi Indonesia.
Permasalahan ini semakin parah karena ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat yang terus menerus, sehingga menambah beban pemerintah pusat akibat kebijakan ini.
Let’s get down to business.
Lantas, bagaimana kita bisa meningkatkan kesejahteraan ASN dan menghilangkan disparitas antarinstitusi pemerintah?
Pertama, penting bagi pemerintah khususnya di tingkat daerah untuk melakukan restrukturisasi aparaturnya.
Menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah ASN pada lembaga daerah di Indonesia berjumlah sekitar 2,86 juta orang atau sekitar 75 persen total jumlah ASN.
Angka ini mewakili prevalensi ASN yang signifikan, terutama karena meluasnya otomatisasi berbagai pekerjaan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Dengan memanfaatkan TIK, efisiensi pegawai suatu institusi dapat ditingkatkan.
Pemerintah daerah mungkin bisa mengurangi jumlah ASN melalui sistem rekrutmen minus growth. Pemerintah daerah dapat meniru Kementerian Keuangan yang menerapkan strategi ini pada 2020 hingga 2024.
Pendekatan ini memungkinkan jumlah pegawai yang pensiun melebihi jumlah pegawai baru. Pendekatan ini layak dilakukan mengingat jumlah ASN pada kelompok usia 51-60 tahun sebanyak 1,29 juta (34 persen) dan 1,23 juta pada rentang usia 41-50 tahun (33 persen).
Belanja pegawai bisa dipangkas secara bertahap untuk meningkatkan tunjangan kinerja ASN.
Kedua, pemerintah daerah bisa memberantas “nepotisme” dengan cara berhenti merekrut pegawai honorer.
Rekrutmen pegawai honorer sering kali dijadikan sebagai salah satu cara untuk merekrut pegawai di luar jalur formal.
Berdasarkan data DPR (2023), jumlah pegawai honorer di Indonesia telah melampaui 5 juta orang. Selain membebani anggaran, pegawai honorer cenderung tidak sesuai dengan deskripsi pekerjaan yang ada.
Apalagi, pemerintah pusat telah merekomendasikan jasa outsourcing untuk mengisi pekerjaan tertentu dibandingkan mempekerjakan pegawai honorer.
Dengan mengurangi pegawai honorer, belanja pegawai bisa lebih banyak dialokasikan untuk kesejahteraan ASN.
Terakhir, pemerintah daerah harus memperkuat kemandirian fiskal dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di daerahnya.
Dengan cara ini, pendapatan asli daerah (PAD) dapat meningkat, sehingga daerah dapat mendukung belanja pegawai tanpa bergantung pada pemerintah pusat.
Dana dari pemerintah pusat dapat dialokasikan secara efisien agar bermanfaat bagi banyak orang.
Pemerintah daerah sekiranya dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada terlebih dahulu terkait dengan pegawai maupun penggalian potensi PAD.
Dengan begitu, kondisi daerah tersebut menjadi lebih layak untuk menerapkan single salary tanpa menambah beban bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.