Sementara itu, jumlah imigrasi dari Uni Eropa menurun dan digantikan oleh kelompok migran non-Uni Eropa yang kurang aktif secara ekonomi, terutama pelajar, kata penelitian tersebut.
Peningkatan jumlah imigrasi dari Uni Eropa adalah janji utama kampanye Vote Leave alias Inggris meninggalkan Uni Eropa.
“Secara keseluruhan, bukti-bukti menunjukkan adanya kerugian jangka panjang yang signifikan dari Brexit,” kata Goldman Sachs dalam laporannya.
Baca juga: Biayanya Bengkak, Inggris Pilih Proyek Kereta Cepatnya Mangkrak
Sementara itu, Bank Dunia mencatat penurunan perdagangan sejalan dengan ekspektasi dan kinerja investasi yang buruk lebih nyata dari yang diantisipasi.
Namun, dikatakan bahwa perubahan pola imigrasi menimbulkan dampak siklus yang paling penting bagi perekonomian Inggris dan inflasi pada khususnya.
PDB per kapita riil Inggris hampir tidak meningkat di atas tingkat sebelum pandemi Covid-19 dan saat ini berada 4 persen di atas tingkat pada pertengahan tahun 2016, katanya. Bandingkan dengan 8 persen di zona Eropa dan 15 persen di AS.
Sementara itu, Inggris telah mencatat inflasi yang lebih tinggi selama periode tersebut, dengan harga konsumen di Inggris yang meningkat sebesar 31 persen sejak pertengahan tahun 2016 dibandingkan dengan 27 persen di AS dan 24 persen di zona Eropa.
Baca juga: Transisi Energi Bersih, Indonesia Dapat Kucuran Rp 135 Miliar dari Inggris
Pemerintah Inggris memperkirakan bahwa perjanjian perdagangan bebas dengan Australia akan meningkatkan PDB Inggris sebesar 0,08 persen per tahun, sementara dampak ekonomi dari perjanjian perdagangan baru dengan Swiss masih belum jelas.
Sementara itu, jadwal perjanjian dagang baru dengan mitra dagang utama seperti Amerika Serikat dan India belum diumumkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.