Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Mengapa Jepang Masuk Jurang Resesi?

Kompas.com - 21/02/2024, 11:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selama lebih dari sepuluh tahun perekonomian Jepang masuk dan keluar dari resesi, dan tidak pernah lagi tumbuh pada tingkat yang sangat tinggi, yaitu sebesar 4 persen. Pertumbuhan tahunan rata-rata hanya 1 persen.

Meskipun banyak perusahaan dan bank yang pada dasarnya bangkrut, regulator justru melihat sebaliknya ketika perusahaan dan bank menggunakan perangkat akuntansi yang kreatif atau melakukan kecurangan untuk menyembunyikan besarnya kerugian mereka.

Kegagalan melakukan restrukturisasi korporasi dan bank yang agresif membuat bank dan perusahaan-perusahaan zombi tetap hidup dalam jangka waktu yang lama.

Meskipun ini bukan resesi resmi, investor asing mungkin menafsirkannya sebagai resesi teknis dengan pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Penurunan yang terjadi pada kuartal Juli-September 2023, menunjukkan situasi keseluruhan di Jepang sudah memburuk.

Faktor-faktor khusus yang membuat ekonomi Jepang memburuk seperti gempa bumi Semenanjung Noto, penghentian produksi oleh produsen mobil tertentu, dan berdasarkan tren produksi menjadi hal yang berkontribusi bagi kontraksi ekonomi Jepang.

Pada periode Oktober-Desember, konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari setengah PDB Jepang, turun 0,2 persen.

Sementara, investasi bisnis berkontraksi 0,1 persen. Keduanya mengalami pertumbuhan negatif selama tiga kuartal berturut-turut.

Impor, yang pertumbuhannya berdampak negatif terhadap PDB, meningkat 1,7 persen, sementara ekspor tumbuh 2,6 persen.

Data juga menunjukkan bahwa selama tahun 2023, PDB Jepang secara riil meningkat sebesar 1,9 persen, dengan pertumbuhan 5,7 persen secara nominal.

Kontribusi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang, antara lain permintaan eksternal berkontribusi positif sebesar 0,2 persen terhadap Q4 2023. Juga, permintaan domestik terkontraksi 0,3 poin karena konsumsi yang sangat lamban.

Permintaan domestik yang lemah membuat Jepang terjebak di dalam pertumbuhan negatif selama kuartal tersebut.

Alasan utama permintaan domestik lemah berkaitan dengan inflasi yang berlangsung terus menerus sehingga melambung cukup tinggi, maka terjadi kenaikan upah yang tertinggal dari kenaikan harga.

Hal tersebut menyebabkan daya beli rumah tangga menurun. Pada 2023, upah riil di Jepang turun sebesar 2,5 persen dari tahun 2022, menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga riil bulanan Jepang menurun sebesar 2,6 persen pada 2023 dibandingkan 2022.

Kesimpulan, Indonesia harus tetap waspada dalam menyikapi resesi Jepang mengingat berdasarkan data BPS, Indonesia melakukan ekspor ke Jepang 20,79 miliar dollar AS pada 2023.

Oleh karena itu, segera mencari mitra dagang dari negara-negara yang terhindar dari resesi, terutama Arab Saudi, Belanda, Filipina, India, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, dan Vietnam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com