Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Jepang Masuk Jurang Resesi?

Ekonomi turun 0,4 persen secara tahunan pada kuartal keempat IV-2023 setelah melaporkan kontraksi atau -3,3 persen pada kuartal ketiga kuartal III-2023.

Sepanjang 2023, PDB nominal Jepang tumbuh 5,7 persen dibandingkan tahun 2023. Ini sekitar 591,48 triliun yen atau setara dengan Rp 61.673 triliun.

PDB Jepang tahun 2023 tanpa disesuaikan dengan inflasi, hanya mencapai 4,21 triliun dollar AS berada di bawah Jerman yang berjumlah 4,46 triliun dollar AS.

Akibat hal tersebut, posisi Jepang tergeser oleh Jerman menjadi negara ekonomi terbesar keempat di dunia. Gambaran pertumbuhan yang mengerikan ini membuat semakin sulit bagi Bank of Japan untuk memperketat kebijakannya.

Salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap PDB Jepang adalah penurunan signifikan tingkat swasembada domestik. Hal yang membedakan Jepang dari Jerman secara signifikan adalah tingkat investasi langsung ke dalam yang sangat rendah.

Bahaya spekulasi ekonomi Jepang

Hal ini dimulai pada tahun 1980-an, ketika Jepang jatuh ke dalam cengkeraman mania spekulatif yang belum pernah terjadi sebelumnya, berakar pada saham dan real estate.

Easy money, berkat Bank of Japan menjaga suku bunga tetap rendah. Bank meningkatkan pinjaman tersebut hanya pada akhir masa booming.

Terdapat inovasi dan deregulasi keuangan, seiring dengan agresifnya perbankan beralih ke pinjaman real estate, suatu bidang yang berada di luar keahlian tradisional mereka.

Ada euforia irasional yang biasa terjadi, yaitu keyakinan bahwa harga hanya bisa naik lebih tinggi. Indeks pasar saham domestik, Nikkei, naik dari sekitar 10.000 menjadi hampir 40.000 dan harga real estate menunjukkan tren serupa.

Harga real estate residensial meningkat hampir dua kali lipat pada akhir tahun 1980-an, dan harga real estate komersial meningkat tiga kali lipat.

Pada puncak booming, tanah di bawah dan di sekitar Istana Kekaisaran Tokyo, yang total luasnya beberapa ratus hektare, diperkirakan memiliki nilai pasar yang setara dengan seluruh real estate di California.

Pasar menjadi stabil pada akhir 1989, dan ketika Bank of Japan mulai menaikkan suku bunga untuk mengakhiri spekulasi, gelembung tersebut pecah.

Setelah keruntuhan awal di pasar saham, perekonomian ambruk dalam gerakan lambat: harga saham terus merosot, begitu pula nilai tanah.

Tahun 1990-an, di Jepang mempunyai nama: “Ushinawareta Junen”, adalah Dekade yang Hilang.

Selama lebih dari sepuluh tahun perekonomian Jepang masuk dan keluar dari resesi, dan tidak pernah lagi tumbuh pada tingkat yang sangat tinggi, yaitu sebesar 4 persen. Pertumbuhan tahunan rata-rata hanya 1 persen.

Meskipun banyak perusahaan dan bank yang pada dasarnya bangkrut, regulator justru melihat sebaliknya ketika perusahaan dan bank menggunakan perangkat akuntansi yang kreatif atau melakukan kecurangan untuk menyembunyikan besarnya kerugian mereka.

Kegagalan melakukan restrukturisasi korporasi dan bank yang agresif membuat bank dan perusahaan-perusahaan zombi tetap hidup dalam jangka waktu yang lama.

Meskipun ini bukan resesi resmi, investor asing mungkin menafsirkannya sebagai resesi teknis dengan pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Penurunan yang terjadi pada kuartal Juli-September 2023, menunjukkan situasi keseluruhan di Jepang sudah memburuk.

Faktor-faktor khusus yang membuat ekonomi Jepang memburuk seperti gempa bumi Semenanjung Noto, penghentian produksi oleh produsen mobil tertentu, dan berdasarkan tren produksi menjadi hal yang berkontribusi bagi kontraksi ekonomi Jepang.

Pada periode Oktober-Desember, konsumsi swasta, yang menyumbang lebih dari setengah PDB Jepang, turun 0,2 persen.

Sementara, investasi bisnis berkontraksi 0,1 persen. Keduanya mengalami pertumbuhan negatif selama tiga kuartal berturut-turut.

Impor, yang pertumbuhannya berdampak negatif terhadap PDB, meningkat 1,7 persen, sementara ekspor tumbuh 2,6 persen.

Data juga menunjukkan bahwa selama tahun 2023, PDB Jepang secara riil meningkat sebesar 1,9 persen, dengan pertumbuhan 5,7 persen secara nominal.

Kontribusi lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi Jepang, antara lain permintaan eksternal berkontribusi positif sebesar 0,2 persen terhadap Q4 2023. Juga, permintaan domestik terkontraksi 0,3 poin karena konsumsi yang sangat lamban.

Permintaan domestik yang lemah membuat Jepang terjebak di dalam pertumbuhan negatif selama kuartal tersebut.

Alasan utama permintaan domestik lemah berkaitan dengan inflasi yang berlangsung terus menerus sehingga melambung cukup tinggi, maka terjadi kenaikan upah yang tertinggal dari kenaikan harga.

Hal tersebut menyebabkan daya beli rumah tangga menurun. Pada 2023, upah riil di Jepang turun sebesar 2,5 persen dari tahun 2022, menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga riil bulanan Jepang menurun sebesar 2,6 persen pada 2023 dibandingkan 2022.

Kesimpulan, Indonesia harus tetap waspada dalam menyikapi resesi Jepang mengingat berdasarkan data BPS, Indonesia melakukan ekspor ke Jepang 20,79 miliar dollar AS pada 2023.

Oleh karena itu, segera mencari mitra dagang dari negara-negara yang terhindar dari resesi, terutama Arab Saudi, Belanda, Filipina, India, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, dan Vietnam.

https://money.kompas.com/read/2024/02/21/111021226/mengapa-jepang-masuk-jurang-resesi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke