Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amidi Amidi
Dosen

Dosen Fakuktas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Palembang

Memburu Penerimaan Negara Tanpa Menaikkan PPN

Kompas.com - 19/03/2024, 08:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lenyap dari ingatan kita, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada awal April 2022 lalu, kini pemerintah kembali akan menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan PPN tetap bakal naik meski presiden berganti.

Kenaikan PPN sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPN naik jadi 11 persen mulai tahun 2022 dan menjadi 12 persen mulai tahun 2025. (cnnindonesia.com, 12 Maret 2024)

Kebijakan tersebut bertentangan dengan langkah pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan berikutnya. Tidak hanya itu, lebih jauh akan menyulitkan rakyat selaku konsumen, terutama konsumen menegah ke bawah.

Kontradiktif

Bila disimak, kebijakan menaikkan PPN tersebut jelas kontradiktif. Di satu sisi kita ingin agar perekonomian Indonesia terhindar dari tekanan krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara dan agar ada percepatan laju pertumbuhan ekonomi.

Namun di sisi lain, kenaikan PPN justru akan berdampak terhadap pelemahan perekonomian.

Kenaikan PPN akan menimbulkan dampak ekonomi dan memporak-porandakan variabel ekonomi yang sudah kita bangun sejak melandainya pandemi Covid-19.

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan di atas 5 persen, inflasi terkendali, dan menekan angka pengangguran justru akan terganggu alias sulit untuk direalisasikan.

Kenaikkan PPN tak ayal akan mendongkrak angka inflasi, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi (walaupun tidak signifikan), dan unit bisnis akan terganggu.

Bila ditelaah, sampai saat ini unit bisnis tidak sedikit yang “terseok-seok”. Walaupun berbagai strategi sudah mereka lakukan, tetapi tetap saja harus menerima kenyataan yang ada.

Sejumlah unit bisnis bahkan sudah tutup, baik di pusat maupun daerah. Misalnya gerai ritel modern Gaint, Ramayana, dan Transmart.

Unit bisnis lain terus berjuang untuk bertahan. Misalnya, mereka melakukan strategi menekan biaya dengan pindah lokasi atau menyewa tempat yang harganya terjangkau.

Apalagi saat ini persaingan semakin tajam. Pendatang baru sebagai pesaing terus memasuki pasar.

Tidak hanya itu, kenaikan PPN akan membebani konsumen kelas menengah dan bawah. Pada saat mereka belanja (untuk barang yang dikenakan PPN), ia akan menanggung beban PPN 12 persen tersebut.

Sebenarnya masih banyak sumber penerimaan yang bisa diburu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com